Menikmati Gelar Budaya
Sendangagung yang digelar awal Oktrober
2016 di Lapangan Sedangagung, Sleman, sungguh luar biasa. Perjalanan kali ini
ke Yogya, benar-benar perjalanan berlibur. Padahal dua minggu sebelumnya saya
baru saja berlibur dengan kawan-kawan blogger. Tapi Kunjungan kali ini atas
undangan seorang kawan blogger, benar-benar berlibur.
Berlibur bagi saya adalah mengunujungi
suatu tempat, menikmati cuaca, pemandangan, makanan dan masyarakat setempat. Saya
pertama kali menikmati kota Yogyakarta saat kelas satu SMP. Ikut seorang kawan
yang mengujungi Neneknya. Kesan pertama memang selalu sulit dilupakan. Dan
ketika awal Oktober 2016 saya berkunjung ke desa Sendangagung Sleman, saya
nyaris merasakan apa yang puluhan tahu lalu saya kecap.
Sejauh mata memandang, sawah,
pepohonan, perbukitan dan awan biru memenuhi rongga mata. Saya tak banyak
cakap, cuma diam dan menikmati. Hati saya terasa hangat, walau tak semuanya
sama tapi sebagian mengembalikan kenangan dulu yang tersimpan dalam laci
kenangan.
Meluncur tenang dalam sedan
buatan Eropa, terasa nyaman. Cuaca panas, membuat pendingin udara nyaris tak
terasa. Akhirnya kami memilih membuka jendela. Lalu membiarkan angin menerpa
kulit wajah. Senang sekali menghidu udara khas desa. Kami tiba di sebuah
sanggar yang menjadi tempat kami menginap. Rian, kawan blogger yang mengundang
saya menginformasikan, akan menginap di rumah penduduk desa. Nyatanya Sanggar
yang kami tempati sangat luas dan bangunan yang terkesan mewah. Luas, lantai
keramik, pintu gebyok khas Jawa lengkap dengan ukiran dari Jati mematrikan
kemewahan itu.
Kami ditempati sebuah rungan yang
luasnya sama dengan rumah saya.. Ya, kelihatannya ruangan itu dulu 4 kamar yang
di jadikan satu. Di dalam ada, satu kamar mandi, 3 tempat tidur, lemari, satu set tempat duduk
dan dua kasur ukurang besar dua buah. Kami yang terdiri dari 5 laki-laki dan 5
perempuan, tidur bersama. Kebayangkan serunya.
Begitu tiba, kami meletakan tas,
baru saja bersiap akan menuju lapangan, Ayah Rian yang juga salah satu panitia
menemui kami. Juga Pak Lurah dan Pak Heri. Yang membuat saya takjub dan merasa
sungguh-sungguh berlibur, panitia dan Pak lurah semua mengenakan kain, baju lurik
dan blangkon.
Tiba di Lapangan, panggung besar
sudah terbangun. Di depan panggung ada 3 tenda. Satu tenda besar untuk tamu dan
penonton. Sedangkan dua tenda di kiri dan kanan untuk para peserta dari
masing-masing desa yang memamerkan hasil desa, ada cemilan seperti wingko,
bacem wader, keripik talas, telor asin, es buah. Sementara kerajinana ada batik shibori, jenggo/Bonggol
jagung yang dijadikan kap lampu. Kerajinan bamboo, ada tas, gantungan kunci,
tempat buah, topi dll.
Gelar Budaya Sendangagung, adalah
respon atas himbauan Pemda Yogya yang mengharapkan tiap desa memajukan dengan
sumber kekuatan lokalnya. Selama ini dikenal istilah desa wisata dan desa
budaya. Desa wisata adalah tempat di mana ada destinasi wisatanya, seperti
candi, pantai atau pegunungan. Seangkan desa budaya memunculkan karya
budayanya.
Dan Gelar Budaya Sendangagung
memunculkan semua potensi budaya yang ada. Saya enggan meninggalkan panggung,
ketika aneka pertunjukan di mulai. Punakawan dan pak lurah yang menjadi pembawa
acara, menghangatkan suasana. Walau dengan berbahasa Jawa, sedikit-sedikit saya
mengerti dan bisa ikut tertawa.
Memori di telepon genggaman saya
selalu penuh karena saya tak henti mengabadikan setiap kesempatan tampilan yang
ada. Jujur dada saya bergemuruh, ketika tiap desa naik ke panggung dan
mempertunjukan kemampuan. Mulai dari sholawat, Wiwitan, Macapat (Oleh anak
kelas 3 SD) Ketoprak anak dalam lakon Bandung Bondowoso, ada dolanan, ada tari
Badui.
Acara hanya berhenti sebentar
karena magrib. Hujan yang tercurah tak membubarkan masyarakat yang datang
menonton. Awalnya saya kira, mereka memang haus akan hiburan, ketika saya
sempat mengobrol sedkit denganpengunjung ternyata mereka datangan karena
mendukung desanya yang unjuk kemampuan.
Sebuah tarian dengan judul
Blengketan yang berarti menyatu, menceritakan menyatunya tiga desa menjadi Desa
Sendangagung. Dimainkan 9 penari yang cantik dan gemulai. Tiap 3 penari mewakili
tradisi dan kebiasaan desa asal. Hingga ahirnya melebur menjdi satu. Dimainkan
dengan durasi lumayan panjang, gabungan tari klasik dan modern.
Karawitan yang dimainkan
anak-anak dan ibu-ibu, mempesona saya. Hingga akhirnya yang ditunggu ketoprak
dewasa. Istimewanya ketoprak ini bukan dari lakonnya tapi dari para pemainnya.
Ketoprak di mainkan para lurah, para perantau yang kembali, anggota dewan dan profesional
pemain yang terbiasa main untuk RRI.
Lewat Pk. 12.00 tengah malam,
ketoprak diakhiri. Ada rasa yang membuncah di dada yang sulit saya jabarkan
dengan kata-kata. Mungkin karena saya lahir dan besar di Jakarta, sehingga
hiburan macem ketoprak cuma lihat di televisi. Sehingga ketika melihat
langsung, mata dan telinga ini terus berjaga. Satu hal lagi yang membuat saya
kagum, semua pertunukan diiringi musik secara langsung. Para pemain musik,
berinteraksi seru dengan pelakon ketoprak. Juga berbalas humor dengan salah
satu punakawan Bagong yang menjadi pembawa acara.
Jika memang tujuan menjadikan
tiap desa sebagai desa budaya, saya yakin banyak wisatawan akan datang. Bukan cuma
wisatawan mancanegara, wisatawan local yang terbiasa di kota besar juga mau
datang. Belajar budaya sendiri jauh lebih menyenangkan. Indonesia kaya dan
tugas kita melestarikannya. Gear Budaya harus menjadi kegiatan yang rutin
digelar. Dengan begitu anak-anak yang menjadi generasi penerus, dekat dan bisa
mencintai budayanya. Karena budaya yang dikta jalani akan mereflkesi budaya
kita di masa depan.
Evaluasi langsung dilakukan saat jeda salat
Maghrib. Catatan yang diberikan perwakilan dari Dinas Pariwisata menjadi catatan
penting yang perlu diperhatikan. Bukan sekedar kemasan kuliner atau kerajinan
tapi juga busana yang dikenakan para penampil. Pemasaran dan promosi memang
perlu dilakukan, salah satunya tanda-tanda bahawa di tiap desa ada penghasil
batik, kerjinan kap lampu atau penghasil oleh-oleh memang belum terlihat. Sepanjang
kiri kanan sisi jalan tidak ada penunjuk.
Ini juga harus jadi catatan pemerintah lokal.
Agar tujuan menjadi Desa Budaya bisa segera diwujudkan karena memberi dampak
besar bukan hanya pada ekonomi saja tapi juga kelak pada gaya hidup.
Dan saat ini wader saya sisa 5 ekor. Awet 2 mibggu dalam suhu dingin. Oleh2 dari sendangagung. Kain shibori saya juga sudah meramaikan hut jogja kemaren. Betul² istimewa.
ReplyDeleteAku juga masih punya wadernya. Tak goreng setelah di lumuri telor. Jadi enak.
DeleteJadi kepengen jalan-jalan lagi ya bunda Elisa,Yogyakarta memang luas sekali,kemarin baru kita menjajaki Yogyakarta itupun masih banyak tempat Wisata dan kerajinan tangan yang bisa kita kunjungi, semoga di lain kesempatan dian bisa menjelajahi wilayah Yogyakarta kembali, aminn..
ReplyDeleteAyukkk Dian. Yogya tetap tempat yang menyenangkan untuk destinasi wisata
DeleteAyo...kapan lg ke Jogja.
DeleteNginep di sanggar lagi.
Ayo...kapan lg ke Jogja.
DeleteNginep di sanggar lagi.
Wah sepertinya seru ya acaranya. Dan kerajinannya.. itu bener2 bikin pengen mborong😀
ReplyDeleteEmang seru dan emang lucu-lucu.
Deletekerajinan bambunya lucu2
ReplyDeleteSelalu senang mengunjungi desa budaya
Deletelebron shoes
ReplyDeleteadidas flux
jordan 6
lebron soldier 10
fila shoes
converse shoes
hogan outlet online
true religion
hermes birkin
pg 1