Apalah arti sebuah nama, tentu saja banyak. Bahkan nama dipercaya sebagai sebuah doa atau sebuah harapan para orang tua untuk anak-anaknya, minimal diharapkan barangkali anak-anaknya sehebat nama-nama pemilik aslinya.
Dalam masyarakat kita selain nama yang diberikan ketika kita lahir, dikenal juga nama panggilan yang diberikan dengan berbagai motivasi atau tujuan. Saya punya teman kuliah perempuan yang bernama Tombak Raya Simbolon. Kami memanggilnya Ombak. Karena namanya yang tidak umum, saya pernah mempertanyakan sejarah nama tersebut. Menurut Ombak, nama itu diberikan ayahnya karena ketika ia dilahirkan yang pas terlihat ayahnya adalah Tombak maka nama itulah yang diabadikan pada teman saya itu.
Pada waktu invasi Amerika ke Irak, banyak masyarakatIndonesia yang bersimpatik pada Irak, akhirnya banyak anak laki-laki yang dilahirkan pada kurun waktu Perang Amerika Irak diberikan nama Sadam Husein. Serupa dengan Presiden Irak yang sedang menghadapi tuntutan hukuman mati. Salah satunya putra kedua Penyanyi dangdut senior Camelia malik dan Harry Capri
Ada juga nama-nama yang terdengar keren namun sebetulnya terlahir dari pemikiran yang konyol (penuh humor) Sebut saja, Achmad Albar, dedengkot lagu-lagu Rock dari band Godbless yang tenar di tahun 70-an, mengabadikan nama ALDINO pada putra sulungnya dari Rini S Bono yang berarti Alhamdulila Dia Nongol. Atau nama anak salah seorang teman kakak saya. Memang sih ayahnya seorang pemain drama tapi kok buat saya kebangetan terdengarnya. Namanya Elbow bukan dari bahasa Inggris yang berarti sikut tapi kependekan dari E...ala bocah Wedok! Kira-kira berarti ”e anak perempuan!”
Jika pada era Soekarnoa banyak yang mengagumi beliau sehingga mengabadikan nama tersebut pada anak-anaknya. Demikian juga nama Habibie atau Megawati tapi berbeda dengan nama Soeharto. Ketika jaman Orba berkuasa, banyak orang yang diam-diam sangat tidak menyukai Presiden Soeharto. Sehingga ada salah seorang yang kerap memprotes kebijakan Presiden Soeharto, sehingga ketidak sukaannya pada Presiden Soeharto diteguhkan pada nama anaknya Yaitu ”Gempur Soeharto” Sayang seribu sayang, ia harus kalah dengan sistem karena Catatan Sipil pada masa itu tak mau mengeluarkan akte kelahiran sehingga dengan menyesal ia mengganti nama anaknya.
Salah satu keponakan saya bernama Olenka Mediana, terdengarnya keren. Seperti nama-nama orang asing. Sebetulnya nama itu penuh mana bagi ayahnya yang bekerja pada sebuah penerbitan. Dimana ketika si anak lahir, media tempat si ayah bekerja sedang goyah atau oleng. (Nyaris dibreidel) Maka nama Olenka Mediana sebenarnya berarti medianya sedang goyah.
Banyak juga nama-nama yang merujuk pada agama yang dianutnya seperti Christian, Muhammad, Maria, Aisyah, Gautama dll. Tapi tida sedikit juga nama-nama yang mengandung makna tekad atau kekuatan seperti anak sepupu saya yang diberi nama Tegar Gunung. Di beri nama Tegar karena ketegaran ayahnya yang menolong sendiri proses kelahiran anaknya tepat dibawah kaki gunung di sebuah desa di Jawa Tengah.
Selain nama lengkap yang diberikan ketika dilahirkan, ada juga nama-nama yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari. Atau istilahnya nama panggilan. Biasanya nama panggilan adalah penggalan kata dari nama asli atau julukan yang diberikan pada seseorang baik karena sifatnya atau karena sebuah peristiwa tertentu. Saya mau bercerita seputar nama panggilan ditengah keluarga saya karena terinspirasi dari perdebatan kecil soal nama panggilan di beberapa milis sastra.
Di milis sastra tersebut tiba-tiba muncul seorang pujangga perempuan yang karya-karya puisi dan cerpennya langsung menyedot perhatian. Ini terbukti maraknya apresiasi terhadap karya tersebut. Sayang diskusi yang sudah baik bergeser menjadi menyoroti si penulis hingga nama panggilannya. Kebetulan si penulis yang bernama Gayatri Mantra tidak sreg kalau di sapa dengan sebutan ”Gay”. Mungkin karena bisa berkonotasi penyuka sesama jenis.
Sedangkan yang memanggil (entah benar atau tidak) mengatakan tidak bertendensi apa-apa menyapa dengan kata ”Gay”. Bahkan si penyapa. Sedikit menjelaskan kalau di barat ada nama Robert maka akan di sapa Bob. Tapi di Indonesia nama Robert kemungkinan di sapanya Obet. Dan semua itu sah-sah saja.
Di keluarga besar saya, kami semua punya nama panggilan. Suka atau tidak suka sudah dimateraikan. Kakak saya yang pertama karena sifatnya yang penjijik (Geli dengan yang kotor-kotor) dan cenderung selalu merasa ini tidak bisa atau itu tidak bisa dalam hal pekerjaan fisik, membuat semuanya menyebutnya Boyo. Saya sendiri tidak tahu dari asal kata apa tapi lebih kurang maknanya lemas atau payah. Padahal nama aslinya Gretha Kartiejna. Jadi si kakak nomor satu ini selalu ditempatkan di bagian dapur atau makanan kalau kami menyelenggarakan hajatan.
Bukan cuma itu, kakak nomor satu ini pula yang hafal kebiasaan minum kami para adik dan pasangannya. Pokoknya kalau si Boyo yang menyajikan minuman selamat datang, apa itu sirup, teh atau kopi atau soft drink pasti semua cocok. Baik kekentalan rasa manisnya atau kehangatan airnya. Hanya Boyo yang hafal. Bayangkan kalau kami berkumpul di rumah mami, hanya Boyo yang bisa menyajikan aneka jenis minuman sesuai kesukaan masing-masing adik dan adik iparnya.
Kakak nomor dua, bernama Agustine Sophia. Jelas karena ia lahir di bulan Agustus. Mungkin dulu mami dan papi saya berpikir anaknya cuma dua. Maka dipanggillah dengan sebutan Baby. Nyatanya di Boyo dan si Baby ini punya 9 adik. Tapi panggilan Baby tidak pernah berganti. Kata alm. Papi saya jika nama anak nomor 2 diambil huruf depannya saja menjadi BAS (Baby Agustine Sophia) dan itu nama panggilan si papi.
Kakak nomor tiga, bernama Georgine Arum. Nama pertama diambil dari Nama George Washington, Presiden Amerika yang pertama. Nama keduanya dari Ali Sostroamidjoyo dan M. Room. Yang pada waktu kakak saya lahir sibuk melakukan perundingan dengan pihak Belanda.
Sebutan atau panggilannya adalah si Mpok. Dalam bahasa Betawi bermakna kakak. Tapi bagi kami berarti juragan atau orang setara pembesar yang selalu dilayani. Si Mpok ini dari kecilnya sakit-sakitan. Jadi kalau anak-anak lain upacara di sekolah, maka si Mpok duduk di ruang guru saja.
Mungkin jaman dulu kekurangan gizi, si Mpok ini kalau sedikit beraktivitas maka hidungnya akan keluar darah (mimisan) dan dalam jumlah banyak. Kalau mendengar cerita si Mpok darahnya bisa segelas. Bahkan karena kebiasaan keluar darahnya itu, si Mpok mengkoleksi banyak saputangan ibu guru. Jaman dulu tisu belum umum dan lucunya kok saputangan si ibu guru tidak dikembalikan yah?
Kalau adik-adik dan kakak bekerja maka si Mpok hanya duduk melihat. Karena si Mpok punya alergi kulit. Ada sedikit debu, bersinnya tidak berhenti-henti dan kulitnya cepat sekali ruam dan gatal-gatal. Papi saya suka menguji ruangan yang saya bersihkan (setelah saya sapu dan pel) dengan meminta si Mpok masuk ruangan tersebut. Kalau dia bersin berarti kurang bersih!
Kakak saya nomor empat namanya Joyce Christine karena sejak kecil tinggal di asrama, tidak banyak kenangan yang saya ingat dan rasanya dulu tidak ada julukannya, kalau sekarang karena sudah punya anak dan kebetulan kembar kami menyebutnya atau memangilnya Mama kembar.
Kakak saya nomor lima, nama lengkap Alexandra Theresia. Tapi kami semua memanggilnya Cici. Menurut cerita mami saya, pada tahun-tahun 70-an kami tinggal di daerah yang banyak warga keturunan Tiong Hoa. Sehingga kakak-kakak saya banyak memiliki teman dari keturunan Tiong Hoa. Waktu itu si Sandra (Demikian panggilan sehari-harinya) paling kecil. Nah teman-teman kakak saya kalau membahasakan diri mereka Cici kepada Sandra. Jadi ketika Sandra punya adik, Sandra membahasaan dirinya juga dengan Cici dan kamipun si adik-adik memanggilnya Cici. Para keponakan kami akhirnya menyebutnya/ memanggilnya Tante Cici.
Karena terbiasa memanggil Cici, sebagian mengira kami keturunan Tiong Hoa dan kebetulan kami yang berasal dari Menado memang memiliki warna kulit yang tak jauh berbeda dengan keturunan Tiong Hoa. Si Cici ini sangat suka memasak, jadi kesukaan lainnya adalah belanja ke pasar. Saat belanja, banyak pedagang yang keturunan Tiong Hoa ikut menyapa Cici dan menawarkan harga lebih murah karena merasa sama-sama keturunan Tiong Hoa. Jadi kalau si cici cemberut kami yang mencoba tersenyum ramah. Kenapa harus marah kalau dapat keuntungan belanja dengan harga lebih murah?
Kakak saya nomor enam, namanya Bastiana Tereshkova, sehari-hari di sapa dengan Terry. Nama depan dari nama papi dan nama kedua dari nama kosmonut Rusia. Ketika kecil sulit menyebut huruf “R” lalu nama Terry lebur menjadi Tely lalu Leli. Setelah mempunyai banyak keponakan, menjadi Tante Le, lagi-lagi karena terserah enaknya lidah mengucap menjadi Te-le (Terdengar seperti kata yang berarti tahi ayam dalam bahasa Jawa)
Lalu adik saya atau anak mami saya nomor 8 namanya Adelaida Naharsi. Nama pertama diambil dari nama oma (maminya mami) nama keduanya lagi-lagi rada nyeleneh. Lahir Maret’68 pada saat terjadinya Sidang MPRS. Jadi Na dari Nasution. Har dari Suharto dan Si dari sidang. Nasution dan soeharto adalah dua orang yang memegang kendali pada waktu Sidang MPRS th 68.
Entah mengapa nama panggilannya menjadi Susy dan kami menyebutnya Cucu. Soalnya mami kalau memanggil Sue-Sue kami melafalkannya Cu dan cu jadi Cucu. Tapi dikalangan kawan sepergaulannya baik disekolah atau ditempat kerja, ia biasa di sapa Ade atau Adel..
Adik saya ke 9 namanya Isabella Cornelia. Ia seorang dokter dan sejak remajanya kerap mengikuti banyak organisasi sehingga jarang berkumpul dengan kami. Sehingga para keponakan tidak terlalu familiar dengannya. Ketika PTT, dengan senang hati berangkat ke kepulauan Alor, salah satu pulau nun jauh di Provinsi NTT.
Sewaktu ia mengabarkan akan PTT di Alor, si mami menangis terus menerus karena melihat di peta Pulau Alor hanya setitik kecil nyaris tak terlihat. Kami membujuk mami dengan mengatakan, anggap saja dia lagi kost. Toh kenyatannya sejak kuliah dia memang tidak pernah di rumah. Lepas PTT membuka klinik sendiri bersama suami yang juga dokter tapi ketika Kalimantan memanggil, ia pun terbang dan sekarang di Kalimantanlah tepatnya di Balikpapan ia menetap.
Sehingga banyak kelahiran keponakan-keponakan yang tidak ia ketahui. Tak heranlah kalau sosoknya kurang familiar diantara para keponakan. Jadi saat sesekali berkumpul, keponakan-keponakan yang balita kerap bertanya siapa sih? Nah di dokter yang sebenarnya nama panggilannya Ella lalu berubah menjadi Elok, lebur menjadi Yoyok ketika punya keponakan menjadi Tante Yok disingkat Te Yok terdengar sangat tidak enak lalu seenaknya si Teyok merubah menjadi “Jelita”. Jadi kalau ada keponakan yang bertanya itu tante siapa, maka si Te Yok ini akan berkata “Panggil aku Jelita”. Sehingga keponakan-keponakanku yang lain termasuk Bas dan Van menyebutnya Dokter Jelita.
Adik saya ke 10 dan ke 11 kembar. Kelahiran mereka sangat kami nantikan. Dulu belum ada USG sehingga kami tidak tahu yang akan keluar bayi laki atau perempuan dan satu bayi atau dua bayi. Jadi ketika si mami hamil kami sangat yakin yang keluar laki-laki. Begitu juga si papi. Alhasil diam-siam mami dan papi menyiapkan nama anak laki-laki.
Manusia memang boleh berencana namun Tuhan jua yang menetapkan. Ketika mami melahirkan bukan hanya si papi yang terkejut kamipun terkejut. Yang keluar bayi perempuan dan dua. Entah karena kecewa atau karena usianya yang sudah lewat dari kepala empat, maka ketika sepasang bayi kembar perempuan ini boleh pulang, mami masih harus di rawat.
Berhari-hari kami takjub ada dua bayi mungil di rumah, kakak-kakak saya nomor 1, bertanggung jawab mengurus dan melayani si papi sedangkan kakak nomor 2 dan 3 bertanggung jawab terhadap si kembar. Nah sisanya belum terlalu besar tapi sudah tidak balita, keculi yang persis di atas si kembar, bertanggung jawab untuk diri masing-masing.
Balik ke soal nama. Berhari-hari bahkan berminggu-minggu si kembar belum di beri nama. Papi masih bolak-balik ke RS. Entah atas inisiatif siapa tahu-tahu dipanggil Ola untuk yang kakak dan Olly untuk si Adik. Lama-lama saya tahu itu diambil dari Bola Volly yang dihilangkan huruf awalnya B dan V. Maka jadilah Ola dan Olly.
Pertanyaannya mengapa Bola Volly? Ini barangkali (Analisa saya) kami sekeluarga memang sangat menyukai olahraga Bola Volley. Bahkan kami sekeluarga merupakah salah satu team adalan gereja kami untuk Porseni antar gereja atau antar sektor. Bermula dari kakak saya yang nomor dua, Ia adalah atlet Volly DKI untuk PON VIII. Mungkin nama itu dari dia. Pada akhirnya si kembar diberi nama Aprilda (Karena terlahir bulan April) Jolanda untuk si Ola dan Aprilda Veronica untuk si Olly.
Last but not least nama saya. Dipanggil Icha dari nama Elisa. Pokonya yang berahir ”Isa” bisa menjadi Icha seperti Marisa atau Annisa. Nama Elisa biasanya atau umumnya tertulis Eliza dengan huruf Z bukan S. Sehingga banyak orang salah menuliskan nama saya. Tapi nama Elisa diambil dari nama laki-laki yaitu Opa saya (papinya si papi)dan namanya Memang Opa Elisa.
Nama lengkap saya sama seperti saudara-saudara yang lain semua dua nama. Tapi nama kedua saya tidak pernah saya pakai. Urusan adminitrasi baik itu raport dan ijazah, tidak pernah ada nama kedua atau nama tengah saya. Juga KTP atau identitas lain. Semua hanya Elisa Koraag atau Icha Koraag.
Mengapa begitu? Saya tidak tahu. Tapi saya bersyukur nama itu tidak dipakai. Saya agak terganggu dengan nama kedua tersebut. Karena sangat aneh terdengarnya. Tapi apa mau dikata ketika akan menikah yang diperlukan untuk mengurus ke Catatan Sipil salah satunyanya adalah Akte Kelahiran dan di situ jelas tertulis nama pertama dan nama kedua.
Menghindar jelas tidak mungkin, untungnya calon suami saya tidak mentertawakan (Tidak tahu kalau dibelakang saya ia tertawa). Nama kedua sangat jelas menceritakan kalau papi saya TNI AD. Nama kedua saya KOSTRADA dan itu jelas diambil dari kata Kostrad. Akhirnya nama itu ikut tertera di kartu undangan pernikahan saya.
Saya pikir, pastinya papi saya bangga menempelkan nama itu walau papi tidak tahu bagaimana perasaan saya dengan nama.itu. Coba anda bandingkan dengan nama kedua saudara-saudara saya yang lain, nama kedua saya saja yang terdengar sangat ”antik”. Saya mencoba menerima, merasakan dan meyakini kebanggaan papi yang menyertai nama itu atas saya. Jadilah saya: Elisa Kostrada Koraag.
Ketika saya hamil dan melahirkan saya tidak pusing soal nama. Ada juga sih terpikir ingin memberikan nama pada anak yang akan saya lahirkan. Tapi saya tidak suka berdebat. Karena saya bisa menggunakan nama apapun sebagai nama tokoh dalam cerpen-cerpen saya. Termasuk nama-nama yang saya suka baik karena artinya maupun karena respek saya terhadap si empunya nama asli.
Ketika suami saya punya usulan nama untuk anak-anak, maka nama-nama itu yang dipakai. Kebetulan sayapun menyukai nama itu. Bastiaan diambil dari nama alm papi saya dan Vanessa diambil dari nama pemain biola favoritenya suami saya yaitu Vanessa Mae. Bagi saya terdengar baik dan indah.
Namun satu hal yang penting arti dari pemberian sebuah nama adalah pemberian identitas. Apapun nama dan makna dibalik nama terbut adalah sah-sah saja. Nama merupakah salah satu hak dasar manusia. Nama adalah awal identitas. Agar di akui secara hukum identitas tersebut perlu disyahkan dalam sebuah Akte kelahiran. Jadi harus diingat nama adalah bagian dari hak dasar yang dimiliki anak, jika anda sebagai orang tua, maka kewajiban kita memberikan apa yang menjadi hak dasar anak. Jadikan berikanlah nama dan resmikanlah namanya secara hukum dalam sebuah akte kelahiranb agar anak mempunyai identitas yang berkekuatan hukum. (Icha Koraag. 22 Nov 2006)
maaf, apa sy bisa tau dimana mneghubungi saudara ibu, ibu joyce christine?
ReplyDeleteSy mantan murid SDnya beliau di jakarta dulu
Terima kasih
Daniel Widodo Bahana
bagi orang disana-ttidak disebutkan dimana-, nama adalah kehormatan, :) jadi harus dijunjung tinggi :) tidak senangkan kalo nama kita salah disebut :(
ReplyDeletehahahah... kadang gitu nama sama panggi;lan beda beud wkwkwkk
ReplyDeleteWah, mantap kali :D
ReplyDeleteHahhaha :D emang perlu diperhatikan
ReplyDeleteLucu amat, aku malah baru tau semuanya asli :D
ReplyDeleteSalam,
Pink