Semasa kuliah,
menggunakan jaringan yang ada, saya dan pasangan memulai usaha dengan memasok
barang-barang keperluan koperasi di beberapa institusional pemerintah dan
swasta lewat jalur koperasi. Tidak terlalu susah. Dalam jumlah kecil, tidak masalah tapi jika
dalam jumlah besar, kami jelas menghadapi problem keuangan alias modal.
Pada
perjalanannya kami melihat ada peluang dalam hal pengadaan barang dan jasa yang diperlukan banyak instansi
pemerintah. Salah satu pengalaman, kami yang belum punya perusahaan tapi
mempunyai akses “orang dalam”, bisa mendapat peluang bukan lewat usaha
pengadaan barang dan jasa tapi lewat, mencarikan perusahaan-perusahaan yang
bisa diatur dan diarahkan. Susah? Nggak. Karena orang-orang ini dikenal dengan
pengusaha tanpa kantor. Selalu ada di sekitar kantor pemerintah, berpenampilan
rapih, mondar-mandir bawa setumpuk dokumen. Keberadaan mereka mudah
diidentifikasi di kantin-kantin. Ajak ngobrol, maka akan dapat kenalan.
Dengan kata
lain, kami mengumpulkan perusahaan-perusahaan untuk mengikuti lelang. “Orang
dalam” yang mengatur, minimal ada 5 perusahaan. Nanti jika sudah ada perusahaan
yang memenangkan lelang, maka perusahaan-perusahaan yang tidak menang termasuk
saya, mendapatkan “semacam uang lelah”. Yang jumlahnya lumayan. Wong, kami
tidak mengerjakan apa-apa. Hanya menghubungkan, mengumpulkan dan menyerahkan
semua urusan ke “orang dalam”.
Dikemudian
hari, saya memahami, usaha-usaha semacam itu adalah upaya “pembohongan publik”
Sekaligus “lahan basah” bagi “orang dalam”. Karena besarnya biaya suatu proyek,
tidak ditentukan berdasarkan kebutuhan suatu proyek yang akan dijalankan,
melainkan berdasarkan kesepakatan, seberapa besar pemenang lelang bisa berbagi “uang
proyek”.
Proyek tidak berjalan atau bahkan dalam
perjalanannya membutuhkan tambahan uang, si “orang dalam” bisa memfasilitasi.
Melihat enaknya “berbisnis” dengan cara itu, saya dan pasanganpun ingin membuat
perusahaan dalam bentuk PT. Tapi kami terkendala dalam beberapa persyaratan
administrasi, seperti tempat usaha bukan rumah tinggal. Kalau harus memiliki tempat usaha dengan
menyewa, modal nggak kuat. Lulus kuliah,
saya dan pasangan menekuni pekerjaan yang sesuai dengan bidang kami, sebagai
jurnalis. Usailah perjalanan kami dalam mengikuti pengadaan barang dan jasa.
Pusat
Pengkajian Pengadaan Indonesia (P3I) Yaitu Lembaga
yang melakukan studi dan pengkajian terhadap aturan serta pelaksanaan pengadaan
di Indonesia, kemudian menyebarluaskan tata nilai dan tata cara pengadaan yang
baik dan benar kepada seluruh stakeholder di Indonesia.
P3I, menyelengarakan Temu Nasional P3I di Media Tower Hotel Jakarta. Dengan Mengangkat tema: Arah Kebijakan Jasa
Konstruksi dan Kebijakan Pengembangan Pengadaan Barang dan Jasa di Indonesia. Dibuka Khalid Mustafa selaku Ketua Umum
Pusat Pengkajian Pengadaan Indonesia.
Saya hadir di hari kedua, 1 Des 2017. Namun
mengikuti semua panel diskusi dari hari pertama (30 Nov 2017) saya seperti
kembali ke masa 20 tahun lalu. Pengadaan barang dan jasa adalah peluang bisnis
yang besar jika dilakukan dengan baik dan benar. Mengikuti semua aturan yang
ada. Berjalan di rel yang lurus memang mudah, kenyataannya tidak ada jalan yang
lurus. Setiap jalan selalu ada yang menurun dan menanjak, serta berbelok baik
ke kiri maupun ke kanan. Begitulah perumpamaan dalam mengikuti bisnis di Bidang
pengadaan Barang dan Jasa.
Saya tergelitik membaca tulisan
Pengadaan
bukanlah segalanya tapi segalanya membutuhkan
pengadaan.
Ini benar banget. Dalam era keterbukaan
dan di bawah pengawasan ketat, setiap anggaran yang ada, terutama di
pemerintahan, semua harus dipertanggung jawabkan dan mengikuti ketentuan yang
berlaku jika tidak mau berurusan dengan
Dari APBN 2017, dialokasikan 409 triliun
untuk pengadaan barang dan jasa. Itu belum dari APBD. Semakin besar anggaran,
semakin besar peluang korupsi. Hal tersebut menjadi alasan P3i melakukan Temu
Nasional Pengadaan, agar semua jajaran pelaksana kegiatan pengadaan barang dan
jasa bisa lebih waspada.
Saya sempat berpikir, dengan pengawasan
yang ketat dalam upaya melakukan usaha yang benar bakal menghambat banyak
pembangunan. Karena dalam hal urusan Pengadaan Barang dan Jasa, ada hal yang
namanya manajemen waktu dan administrasi yang terkadang nggak sejalan.
Misalnya, dana tidak akan turun jika pada batas waktu tertentu, proyek belum
sampai titik yang sudah disepakakati. Padahal untuk sampai pada titik
pembangunan yang disepakati perlu dana lebih.
Kontraktor umumnya mendapatkan dana baik
modal sendiri juga pinjaman dari bank. Pinjaman dari bank bisa keluar jika
kontraktor sudah memegang surat-surat (administrasi) dari pemberi proyek dalam
hal ini pemerintah. Di mana tercantum nilai proyek dan tahapan-tahapannya.
Pihak bank tidak akan mengeluarkan dana, sekiranya prospek pembangunan proyek
tidak senilai atau sejalan dengan ‘value’ yang sudah ditetapkan.
Situasi dan kondisi “memaksa’ kontraktor
“nakal”. Bahkan demi persaingan ada kontraktor yang menekan anggaran serendah
mungkin. Agar bisa memenangkan lelang proyek. Padahal uang tidak bisa berdusta
artinya ada uang ada barang. Bagaimana mau bicara kualitas jika material yang
dipakai tidak sesuai peruntukan karena dibeli dengan harga yang murah. Ada uang
ada kualitas! Dalam mengikuti suatu proses lelang, ada perusahaan yang harus
mengubah lebih dari 5 kali nilai proyek. Bukan Cuma nilai/anggaran proyek tapi
keseluruhan struktur proyek termasuk cetak biru. Jadi jangan heran jika ada
perseteruan antar tenaga ahli.
Situasi dan kondisi semacam ini sudah
tidak boleh. Proyek-proyek harus seuai kualitas yang diajukan. Misalnya pembangunan
jembatan harus berumur 20 tahun,ya harus sampai 20 tahun. Jangan baru lima
tahun sudah ambruk. Memang setiap tahun pasti ada anggaran pemeliharaan tapi
angaran/biaya pemeliharaan bukan biaya membangun
.
“ Adji Rahmatullah, selaku komite
pelaksana temu Nasional 2017, mengatakan: Kita berharap temu pengadaan 2017 ini
menjadi event bersama seluruh pihak berpartisipasi untuk perbaikan pengadaan
barang dan jasa.
Kepala LKPP, Dr. Ir. Agus Prabowo,
M.Eng. mengatakan:
bicara konstruksi ada dua di dalamnya
yakni penyedia dan pengguna.
Dan pengguna
adalah masyarakat. Tujuan utama dari pembangunan adalah kesejehateraan. Maka
kesejahteraan masyarakat selalu dipertaruhkan dalam urusan pembangunan.
Kegagalam pembangunan insfrastruktur, menyusahkan masyarakat dalam pengurusan
aneka perijinan. Kegagalam pembangunan fisik, menyusahkan masyarakat dalam
menjalani aktifitas hidup. Gangguan-gangguan semacam itu, menguras energi,
menghambat aktifitas . Karena akan berdampak pada semua sendi kehidupan
termasuki perputaran ekonomi.
Tindak
Pidana Korupsi bisa dicegah, jika pelaku usaha memahami semua peraturan dan perundangan
yang ada. Bergabung dalam P3I, akan memberi banyak akses informasi dalam
memahami bisnis Pengadaan barang dan Jasa. Pembangunan membutuhkan kerjasama
semua bagian. Perusaahaan pengadaan barang dan Jasa harus menjadi partner.
Sebagai partner usaha pemerintah, saling mengenali visi dan misi masing-masing,
akan mengantarkan pada kerjasama yang sama-sama menguntungkan. Sehingga tujuan
utama pembangunan, yaitu demi dan untuk kesejahteraan masyarakat dapat
terwujud sesuai cita cita berbangsa dan bernegara. Yaitu mewujudkan masyarakat sejahtera, aman dan damai.
Website : p3i.or.id
Twitter : @p3iorid
Instagram
: @p3i.or.id
Aku juga pernah kerja di kontraktor Mi. Semoga aja ya hasil karya anak Indonesia makin kokoh di kemudian hari dengan pengerjaan bangunan yang makin baik sistemnya.
ReplyDeleteThx u sdh mampir. Betul banget ke depannya Kita berharap lelang berjalan baik Dan benar.
DeleteAcara ini jg sebagai panduan ttg bagaimana ikut tender yg baik & benar ya bund
ReplyDeleteBetul. Masyarakat harus tahu. Kontraktor punya tanggung Jawab besar.
DeleteSemoga ke depan nya akan berjalan dengan benar dan baik yah bun
ReplyDelete