Perempuan dan Virus TB




8 Maret diperingati sebagai Internasional Women's day.  Sejarahnya panjang. Silakan cari di google. Saya tidak akan membahas hari perempuan dan sejarahnya. Saya cuma ingin menuliskan Hari Perempuan Internasional masih tetap relevan diperingati karena kenyataannya, persoalan perempuan di dunia masih membutuhkan perjuangan panjang. Termasuk perempuan dan virus TB

Apa Salahku?

Tak pernah terpikir sedikitpun,
suatu masa aku akan menjilati kesuraman
Tak pernah terlintas dalam benakku,
menjadi yang tersisihkan
Virus dalam sakitku tak jahat,
ia hanya memamah fisikku
Tapi stigma yang kuterima,
bukan hanya menghancurkan fisik tapi juga mentalku.
Kejahatan mereka yang menempelkan stigma,

lebih membunuh dari virus itu sendiri

Apa dosaku, hingga harus diceraikan?
Apa dosaku, hingga harus terpisah dari darah dagingku?
Apa dosaku, hingga pekerjaanku di rampas?
Aku tak berbeda dengan mahluk hidup lainnya

(penggalan Puisi karya:Elisa Koraag)


Ini adalah penggalan puisi yang saya tulis dan rencananya akan di bacakan di sebuah Simposium di Jakarta yang digelar  masih dalam rangkaian hari TB (Tubercolosis), yang jatuh setiap tanggal 24 Maret.

Sebuah kesempatan langka, karena menurut informasi yang saya terima, simposium akan dihadiri 1000 orang lebih dan juga dihadiri Menteri Kesehatan Ibu Nila Moeloek. Ya, aku dan kawan-kawan yang tergabung dalam Sahabat JKN akan membacakan puisi bertemakan perempuan dan TB.

Rangkaian puisi itu saya tuliskan, karena keprihatinan saya saat mendengar kisah perempuan-perempuan yang berjuang membebaskan diri dari TB. Mereka tidak hanya berjuang melawan virus tapi juga tekanan sosial dan psikologis. Ada yang diceraikan lantaran sang suami tak sanggup mendampingi dalam proses pengobatan. Bukan karena biaya. Karena biaya pengobatan TB GRATIS.

Ada perempuan yang harus dipisahkan dari bayi yang dikandungnya selama 9 bulan lebih. dan baru bisa bertemu kembali dengan buah hati setahun kemudian. Saya jadi teringat ketika melahirkan si sulung. Kondisinya yang kuning akibat rendahnya bilurubin, membuatnya tertahan di RS untuk pengawasan lebih baik. Sebagai ibu, dengan tegas saya mengatakan tak akan pulang jika bayi saya tak ikut serta. Tapi hal yang sama tidak dapat dilakukan para perempuan dengan MDR TB. yaitu mereka yang mengidap TB dengan virus yang sudah kebal obat (Medical Drugs Resistance).

Jika selama ini kita hanya mengetahui TB bisa disembuhkan dengan keteraturan minum obat dalam rentang waktu 6-9 bulan, kenyataannya ketidak teraturan dalam memium obat TB membuat cirusnya kebal dan tidak bisa diobati dengan obat biasa. Bahkan pengobatannyapun tidak cukup dengan obat yang diminum. Harus ditambah dengan suntikan, setiap hari selama lebih kurang 2 bulan.

Sumpah saya ngggak berani membayangkan karena mendengarnya saja sudah terasa nyeri di bkong ini. Obat-obat yang diminumpun jauh lebih bayak dari jumlah obat pasien TB biasa. Ada yang 9 butir bahkan ada yang sampai 15 butir. Tergantung berat badan. Hanya itu? Tidak. Jika pada pasien TB biasa saat minum obat cukup didampingi pengawas Minum Obat dari orang terdekat (keluarga) maka pada pasien MDR harus di awasi langsung oleh petugas medis di pos yang ditentukan. Bisa di Poli/klinik RS atau Puskesmas terdekat.

Merepotkan? Betul, tapi itu belum seberapa. Meminum obat dengan jumlah yang banyak sudah menyusahkan. Susah karena dampak dari minum obat itupun banyak dan panjang. Mulai dari sakit kepala, ngantuk, hingga mual dan itu terjadi setiap hari sepanjang pengobatan. Saya sempat mengikuti kunjungan ke RS. Hasan Sadikin Bandung dan menjumpai pasien MDR yang sedang minum obat. Berbincang dan mendegar langsung perjuangan mereka untuk sembuh, sungguh tidak mudah. Mereka harus keluar dari pekerjaan karena untuk minum obat membutuhkan waktu antara 1 sd 3 jam. Mengapa lama begitu? karena belum ada yang sanggup meminum 9 sampai 15 butir obat dalam sekali miunum.

Sungguh saya sangat prihatin. Di saat mereka berjuang, seharusnya keluarga dan orang-orang terdekat harus terus menerus mencurahkan segala perhatian dan kasih saynag. Bukan justru ditinggalkan. Tapi saya juga bertemu dengan suami teladan yang dengan setia menemani pengobatan istrinya. Menempuh jarak sekitar 30 km, diantaranya harus menyeberangi sungai untuk sampai di pos pengawasan terdekat, sang suami dengan setia mengantar dan menemani. Saat ini si isteri sudah menjalani pengobatan sekitar 15 bulan. Masih ada 9 bulan lagi yang harus dijalani. Air mata yang mengiringi kisah mereka, juga mengalir dari mata para peserta workshop. Bahklan suasana sempat sepi. Hati kami ikut terluka, kami ikut merasakan pendritaan mereka. Maka lewat tulisan ini, saya ikut menyerukan untuk tidak menjahui pasien TB. 

Bila berdekatan dengan pasien TB, kenakan masker, Jika tinggal dekat orang dengan TB, segera periksakan diri. karena kenyataanya satu orang dengan virus TB berpotensi menularkan 15-17 orang disekitarnya. Jika hidup serumah, pastikan pasien TB mendapat kamar yang memiliki ventilasi/jendela yang besar, sehingga sinar matahari bisa masuk dan udara bisa berputar dengan baik. Ajak pasien untuk beraktifitas di luar rumah setiap pagi. Beri kesadaran untuk menggunakan masker jika berdekatan dengan orang lain. Pola hidup sehat dan bersih serta asupan gizi baik serta minum obat teratur, maka pasien bisa disembuhkan.


3 comments:

  1. paseien juga harus sadar ya mak pakai masker

    ReplyDelete
  2. bahaya ya mak, 1 pasien TB bisa nularin ke hampir 15 orang..

    ReplyDelete
  3. wuih suami yang luar biasa setia, itu baru suami yang baik mau nemenin istrinya bolak-balik ke rumah sakit meskipun jaraknya jauh.

    ReplyDelete