Curhatku

Jalan Hidupku dan Narkoba






“Sebagai mantan junkies dan miss modus, gw menyimpulkan bahwa antara pacaran dan narkoba punya banyak kesamaan.



1. Bikin kecanduan

2. Bikin kantong kering

3. Jadi suka berimajinasi

4. Otaknya ngeres

5. Kalo putus, bikin sakit.

6. Hobi ngumpet2

7. Selalu pengen ketemu

8. Merusakkan masa depan kalo nggak bisa ngontrolnya.”



Hanya orang yang pernah merasakan sendiri yang bisa menuliskan status di atas. Narkoba bersifat adiktif. Membuat orang kecanduan. Harganya yang mahal, memang membuat dompet kering. Tidak sedikit yang akhirnya melakukan tndakan kriminal seperti pencurian. Baik uang maupun barang lain yang bisa ditukar dengan uang.


Suka berimajinasi, alias menghayal. Dari pengecut menjadi jagoan. Yang semuanya hanya ada dalam pikirannya. Otak ngeres. Sering diartikan berpikir kotor. Otak pecandu narkoba tidak bisa dipakai berpikir normal. Kalau putus bikin sakit. Ya, sakau. Menderita lahir batin karena tidak mengkonsumsi narkoba. Hobi ngumpet- ngumpet karena jarang bahkan tidak ada pemakain narkoba yang dilakukan terang-terangan. Ini artinya para pemakai narkoba, tahu bahwa memakai narkoba adalah perbuatan yang salah. Selalu ingin ketemu, ya pemakai narkoba akan terus mencari dengan berbagai usaha.
 

Merusaka masa depan kalau tidak bisa mengontrolnya. Pernyataan ini agak membingungkan tapi kalau direnungkan iya juga. Banyak pemakain yang sudah hapal berapa dosisnya. Artinya bermain dengan maut, dosisnya kelebihan sedikit saja maka nyawa akan melayang. Sebaliknya kalau dosisnya kurang, efeknya tidak terasa. Sayangnya tidak banyak pecandu yang masih hidup dan mampu mengontrol dosis penggunaan.


Kalau pacaran, sedikit candunya. Tapi benar ketika jatuh cinta, dunia serasa milik berdua. Bikin kantong kering, karena jaman pacaran banyak yang menjaga image. Terkesan memaksa. Rela menabung uang jajan  untuk beli pulsa agar bisa sms-an atau nraktir pacar. Suka berimajinasi alias menghayal, hubungannya manis terus. Padahal kenyataan tidak selalu sama dengan harapan. Putus cinta jaman remaja adalah biasa.


Otak ngeres/berpikir kotor. Ya iyalah punya pacar berharap yang lebih dari sekedar pegang tangan. Padahl itu hanya dorongan nafsu. Tidak tahu akibat yang akan timbul kalau lebih dari sekedar berpegang tangan.


Putus pacaran, sakitnya melebihi jatuh ketima tangga. Merasa diri paling mendreita sedunia padahal lihat sosok lain yang lebih cantik atau lebih ganteng, langsung lumpuh ingatan sama mantan.


Kalau main umpet-umpetan biasanya yang belum cukup umur. Narkoba juga sudah menjerat mereka yang masih di bawah umur loh. Elain belum dapat Lampu hijau dari orangtua, kadang pacaran bawaannya ingin bertemu terus. Menatap pacar 1 x24 jam tetap tidak cukup. Dan terakhir merusak masa depan kalau tidak bisa mengontrol. Ya iyalah kalau gegara pacaran lupa belajar dan lupa segalanya. Kan bakal tidak ada masa depan.


Itu kesamaan pacaran dan narkoba menurut seorang sahabat saya yang mantan pecandu. Tertarik dengan status di facebooknya, yang menuliskan delapan item kesamaan pacaran dan narkoba, mendorong saya mencari tahu, maksudnya. Obrolan itu menghasilkan penjabaran di atas. Lalu berlanjut, akhirnya pembicaraan menjadi panjang dan saya tuliskan menjadi artikel berikut ini.


Perempuan itu kini berusia 25 tahun, telah menjadi istri dan ibu seorang puteri. Ia biasa di sapa Lee Sableng. Dulu kelompoknya bernama Stewar-Setengah Waras. Yang anggotanya lebih sering dalam keadaan setengah waras. Hingga kini anggota Stewar masih berhubungan dan berkomunikasi.


Kisahnya di mulai saat ia, berusia 15 tahun. Berawal dari suatu kegiatan dugem (pesta) berkenalan dengan pil ekstasi. Pertanyaan saya, kok mudah amat terjerumusnya? Ternyata tidak. Latar belakang keluarga broken home menjadi penyebab. Dengan materi berlimpah, ayah pemabuk dan jauh dari ibu, perempuan ini melarikan diri dan membangun dunianya sendiri.


“Setelah menenggak sebutir pil, hidup seolah tanpa beban. Mendengar music house, asli happy!” Ujarnya. Ia tidak peduli apa kata orang. “Sebutan junkise” seolah menjadi kebanggaan. Sejak SD perempuan ini sudah merokok, maka mengenal minuman keras dan narkoba adalah langkah berikutnya.


Uang ada, jaringan banyak. Mendapatkan narkoba baginya mudah saja. Ia tenggelam dua tahun dalam kubangan narkoba. Tapi masih ada secercah sinar dalam nuraninya, mana kala teringat akan ujian akhir SMA. Kesadaran itu, menggoncang jiwanya. Keinginan menjadi lebih baik dan rasa sepi dalam diri menjadi peperangan batin yang hebat. 


Nurani baik selalu menang, perempuan ini memilih pulang ke Kampung orangtuanya di Tanah Toraja. Selama ini ia tinggal di salah satu kota di Jawa Tengah untuk sekolah. 


“Saya tidak bangga dengan masa lalu saya tapi saya juga tidak menyesali. Banyak pelajaran berharga yang saya dapatkan walau dibayar mahal”. Ujarnya. Saya bagaikan bercermin, jika mengingat apa yang sudah saya lakukan dan alami. Dari situ saya tahu harus bagaimana menjadi orangtua. Pasangan saya tahu semua kehidupan saya. Saya memulai hubungan dengan sebuah keterbukaan. Saya percaya kejujuran lebih baik. Pasangan saya menerima apa adanya.
 

Saya tahu ada BNN (Badan Narkotika Nasional). Bukan saya tidak percaya dengan lembaga pemerintah. Tapi saya tahu tangan mereka terbatas. Artinya tetap diperlukan kesadaran dan kerjasama dari masyarakat kalau mau menyelamatkan pecandu narkotika. Dulu masih sekolah, saya selalu pulang sebelum waktunya. Kondisi “nagih” sangat menyiksa. Saya tidak menjalankan rehabilitasi di RS. Tapi lewat ayah kawan saya yang seorang dokter spesialis kesehatan jiwa.


Proses terapi itu sendiri sangat menyiksa. Tapi lebih tersiksa pada waktu sakaw. Diceburi ke air dingin saat tengah malam, sudah jadi kebiasan. Tapi dorongan dalam diri, untuk terlepas dari narkobalah yang membantu saya benar-benar lepas. Lebih dari 6 bulan saya menjalani rehabilitasi. Dan saya tetap tidak ingin ada keluarga tahu kalau saya pecandu narkotika. Saya tahu itu salah dan akan memalukan mereka. Tapi saat itu saya merasa tidak ada yang peduli sama saya. Maka kawan-kawan sesama pecandu terasa sebagai sahabat sepenanggungan. Studio musik tempat kita berlatih musik (Lee tergabung dalam sebuah band lokal di Jawa tengah) sekaligus tempat untuk “teler” bersama.


Ia mengaku, ia dan kawan-kawannya memanfaatkan terapi ke dokter spesialis kejiwaan atau keagamaan (pesantren) atau terapi alternatif. “Saya tidak tahu, dulu sudah ada atau belum lembaga rehabilitasi milik pemerintah. Tahunya, niat untuk sembuh.” ujarnya


Salah satu pelajaran kehidupan yang saya dapatkan:”Pentingnya menghargai lembaga pernikahan ketika memilih menikah. Apalagi ketika sudah mempunyai anak. Anak bukan barang. Anak adalah manusia yang mempunyai perasaan. Tugas orangtua adalah menjaga, melindungi dan mendidik anak. Kasih sayang, perhatian dan kehangatan sebuah keluarga adalah perlindungan utama bagi anak. Dulu saya tidak merasakan itu dan saya lari mencari di luar. Yang saya dapat kesenangan sesaat. Dahaga akan perhatian, kasih sayang dan dekapan keluarga tidak saya dapatkan. Sebaik-baiknya orang lain, keluarga tetap lebih baik.


Saya menjaga Jenong (panggilan putri kesayangannya) dengan memberikan perhatian dan berusaha selalu ada baginya. Usianya masih muda, keberadaan orangtua sangat mutlak diperlukan. Itu juga yang menyebabkan saya tidak bekerja dan memilih mendampingi anak. Kini aktifitas saya menulis. Beberapa cerpen saya sudah dibukukan. Sekarang saya tengah menyelesaikan novel. Dengan menulis saya bebas melepaskan pikiran dan mencurahkan khayalan. Khayalan yang ini tidak sama dengan khayalan pada saat saya mengkonsumsi pil atau sabu.


Jujur, saya sudah kapok dan tobat. Tapi saya belum bisa menghilangkan kebiasaan saya merokok. Saya tahu ini tidak baik. Saya katakan pada Jenong, jangan ikuti kebiasaan Mama merokok, ini tidak baik bagi kesehatan. Entah anak saya mengerti atau tidak, dia cuma tersenyum.


Sekarang hubungan saya dengan orangtua sudah baik. Saya tidak menyalahkan mereka (Terutama bapak). Sejak menjadi orangtua, saya tahu, tidak mudah menanggung beban kehidupan. Tiap orang mempunyai batas ketahanan yang tidak sama. Tiap orang juga punya cara yang berbeda dalam menyelsaikan permasalahan yang dihadapi.


Jangan bicara soal agama. Dari dulu saya beragama tapi belum beriman. Artinya agama ada, ibadah sesekali dilakukan, tapi lebih seringnya lupa atau sengaja dilupaakan. Sekarang, bukan sok religius tapi saya lebih memahami artinya agama dan beriman. Kalau saya menjalankan ibadah saya karena kesadaran saya ingin menjadi orang yang lebih baik. Paling tidak tindakan dan perbuatan saya, sudah lebih layak di contoh anak saya.


Saya tidak berbicara lingkup yang lebih luas (masyarakat) Tapi berdasarkan pengalaman, keluarga adalah yang utama. Tidak bisa diganti dengan yang lain. Kalau boleh berharap, jagalah anak-anak dengan kasih sayang dan perhatian. Tidak ada anak yang ingin lari atau pergi dari rumah, jika semua yang diperlukannya ada di dalam rumah.


Bergaul memang perlu tapi rumah adalah tempat untuk pulang. Tidak ada tempat yang lebih hangat dari rumah. Tidak ada tempat yang lebih nyaman dari rumah. Dan tidak ada tempat di mana orang-orangnya mempunyai jalinan kasih sayang. Pertengkaran, perbedaan dan perbedaan pendapat bukan alasan meninggalkan rumah. Rumah adalah rumah dan ke rumah, setiap orang akan pulang.

2 comments:

  1. Terharu banget baca kisahnya mba Lee, saya salut dan bangga pada dia yang mau berubah dan menjadi orangtua yang lebih baik, semoga Allah SWT terus melindungi aamiin! peluk cium dari Cianjur, trims mba elisa!

    ReplyDelete
  2. Salam kenal...
    Membaca kisah ini, saya lagi-lagi meyakini pernyataan bahwa selalu ada jalan dan kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik. Salut dengan Mba Lee yang bisa berubah walau kita tahu itu sangat tidak mudah :)))

    ReplyDelete