Tak pernah ada kalimat yang cukup 'tuk ungkapkan besarnya rasa syukur dan terima kasihku karena memiliki, engkau sebagai ibu. Engkau sungguh menginspirasi. Entah berapa banyak puisi yang sudah aku tuliskan setiap ulang tahunmu.
Mengingatmu adalah mengenang semua napas kehidupan. Tapi di saat-saat seperti ini, sulit sekali memilih kata, membentuk kalimat, untuk menceritakan siapa engkau bagiku.
Engkau bukan sekedar perempuan yang melahirkanku. Engkau adalah manusia pertama yang mencintaiku tanpa syarat. Dan air susumu yang menghidupiku di awal tahun pertama. Walau belum ada istilah Inisiasi Menyusui Dini, engkau sudah memberi kami ASI sesaat setelah anak-anakmu dilahirkan.
Belum ada program atau ketentuan, bahwa anak-anak harus mendapat ASI eksklusif. Engkau memberi kami air susumu selama 12 bulan penuh. Setelah itu baru engkau mengenalkan kami dengan nasi lunak. Tidak ada program S1. Untuk 6 bulan pertama ASI bagi anak-anakmu pun S2 untuk ASI ditahap lanjutan.
Belajar dari alam, engkau membesarkan aku dan anak-anakmu yang lain. Mengingatmu, adalah mengingat sosok perempuan dalam daster. Nyaris tak ada kenangan sosokmu dalam busana yang indah. Saat mentari belum mengintip, engkau sudah disibukkan dengan aroma nasi goreng atau roti bakar. Yah, engkau membutuhkan waktu lebih panjang karena banyaknya mulut-mulut yang harus diberi makan.
Usai sarapan pagi, engkau melepas Ayah dan anak-anak berangkat kerja dan ke sekolah. Selesaikah tugasmu? belum. Karena begitu kami berangkat, engkau mulai mengeluarkan semua pakaian kotor dan mulai mencuci. Aku ingat ketika duduk di kelas satu SMP masuk siang,. Maka itu artinya, aku kebagian membantumu mencuci pakaian. Berember-ember penuh kau cuci dengan tangan. Tangan mungilmu seperti tak kenal lelah. Aku hanya membantu membilas dan menjemur. Di tanganmu, guratan keriput adalah bukti cinta tanpa akhir. Di mungil kakimu, jejak kehidupan kami.
Sesudah itu selesaikah? Belum. Saatnya mencegat tukang sayur yang lewat di dalam kompleks. Selesai menjemur pakaian, aku mulai membantu merajang sayuran. Engkau menghaluskan semua bumbu dengan cobek batu. Sekarang, untuk bumbu masak, aku menggunakan bumbu instan, Jika tidak ada bumbu instan, aku menggunakan blender untuk menghaluskan bumbu. Aku nyaris tak kuat dan tak terampil menggunakan cobek batu.
Jika sudah jam 11.00, engkau mengingatkanku untuk meninggalkan dapur. Sudah waktunya mandi. Selesai mandi, makan siang sudah tersaji. Selesai makan, aku berangkat sekolah. Usaikah pekerjaannya? Masih belum karena adik-adikku yang di sekolah dasar waktunya pulang. Ibu kembali harus menyiapkan meja makan. Tak jarang karena lelah, ibu menyuapkan keempat adikku. Itu berarti hanya satu piring dan sendok kotor. Ibu tak perlu banyak mencuci piring kotor. Itu adalah cara ibu mengurangi beban kerjanya. Tapi tidak mengurangi cinta dan kewajibannya dalam memberi makan anak-anaknya.
Usai memberi makan siang anak-anak, ibu akan mengantar mereka tidur siang. Ibu mengangkat pakaian dari jemuran lalu disisihkan. Sesudah itu ibu kembali ke dapur. Sejak kami kecil, jam 16.00 adalah waktunya minum teh dan camilan. Saat besar aku baru tahu istilah tea/coffee time. Sejak kecil kami sudah terbiasa. menikamti tea dan kue-kue buatan ibu. Mulai dari pancake, pisang goreng, atau sekedar ubi dan singkong goreng.
Biasanya kami menikmati teh dan kue sesudah mandi sore, lalu kami diijinkan bermain dengan kawan-kawan dalam kompleks. Jam 17.30 saat Ayah pulang kerja, berarti kami juga harus pulang. Waktunya belajar. Biasanya kami duduk melingkar di meja makan. Meja makan kami besar, berukuran untuk 10 orang. Tapi biasanya hanya yang kecil-kecil yang duduk di meja makan untuk belajar. Kakakku punya meja belajar di kamar masing-masing. Dan merekalah yang bergantian mengawasi kami belajar. Tapi jika kami tidak bisa, maka kami tetap bertanya ke Ayah dan Ibu.
Usai belajar, waktunya makan. Biasanya kami makan mengelilingi ayah di meja makan. Ibu bolak-balik dapur-ruang makan. Begitu kami selesai makan, baru ibu makan dan tetap ditemani ayah di meja makan. Saat makan, selalu ramai dan seru. Tak sedikitpun aku melihat atau mendengar ibu mengeluh. Biasanya kakak-kakaku yang bergantian mencuci piring, sementara kami berkumpul di lantai dekat tempat tidur Ayah, mendengar Ayah atau Ibu bercerita tentang kehidupan mereka sebelum di Jakarta.
Ayah dan Ibuku berasal dari Menado. Ketika memiliki empat orang anak, mereka merantau ke Jakarta. Sebelumnya sempat di Cirebon dan lahir seorang kakakku. Kami senang mendengar kisah perjalanan mereka terutama seminggu di kapal laut dari Menado ke Jakarta. Biasanya penuh canda dan gelak tawa. Acara televisi tidak terlalu disukai. (Maklum baru TVRI) Setelah puas bercanda, Ibu mengiring kami gosok gigi lalu ke kamar untuk tidur. Karena kami bersaudara banyak, tiap kamar diisi dua orang. Ayah dan Ibu secara bergantian mengecek ke kamar-kamar kami.
Aku selalu tahu, Ayah tak pernah tidur. Karena sepanjang malam selalu ada lagu yang mengalun dari tape recorder. Sehingga kami tak pernah takut jika terbangun di tengah malam untuk minum atau ke kamar mandi. kami juga selalu tahu, jika ada sentuhan hangat di kening, berarti Ayah atau Ibu mencium kami. Mengenang sosok perempuan yang menjadi ibu. Adalah mengenang perempuan berdaster yang tak pernah lelah.
Entah darimana sumber kekuatannya. Tapi satu yang kutahu cinta ibu adalah energi kami. Mungkinka kami, anak-anaknya adalah energi baginya? Sebagaimana aku merasa kedua anakku sebagai sumber energi kehidupan bagiku. Demi dan untuk anak-anakku, aku mau melakukan apa saja. Sama seperti yang sudah dilakukan ibu bagiku dan saudara-saudaraku.
Aku bersyukur diusianya yang sudah 84 tahun, aku masih bisa menemani, menyayangi dan memeluknya. Aku terus dan berusaha menunjukan agar ia tahu, aku mencintainya dengan seluruh aliran napasku. Ibu, adalah cinta tanpa akhir
Mengingatmu adalah mengenang semua napas kehidupan. Tapi di saat-saat seperti ini, sulit sekali memilih kata, membentuk kalimat, untuk menceritakan siapa engkau bagiku.
Engkau bukan sekedar perempuan yang melahirkanku. Engkau adalah manusia pertama yang mencintaiku tanpa syarat. Dan air susumu yang menghidupiku di awal tahun pertama. Walau belum ada istilah Inisiasi Menyusui Dini, engkau sudah memberi kami ASI sesaat setelah anak-anakmu dilahirkan.
Belum ada program atau ketentuan, bahwa anak-anak harus mendapat ASI eksklusif. Engkau memberi kami air susumu selama 12 bulan penuh. Setelah itu baru engkau mengenalkan kami dengan nasi lunak. Tidak ada program S1. Untuk 6 bulan pertama ASI bagi anak-anakmu pun S2 untuk ASI ditahap lanjutan.
Belajar dari alam, engkau membesarkan aku dan anak-anakmu yang lain. Mengingatmu, adalah mengingat sosok perempuan dalam daster. Nyaris tak ada kenangan sosokmu dalam busana yang indah. Saat mentari belum mengintip, engkau sudah disibukkan dengan aroma nasi goreng atau roti bakar. Yah, engkau membutuhkan waktu lebih panjang karena banyaknya mulut-mulut yang harus diberi makan.
Usai sarapan pagi, engkau melepas Ayah dan anak-anak berangkat kerja dan ke sekolah. Selesaikah tugasmu? belum. Karena begitu kami berangkat, engkau mulai mengeluarkan semua pakaian kotor dan mulai mencuci. Aku ingat ketika duduk di kelas satu SMP masuk siang,. Maka itu artinya, aku kebagian membantumu mencuci pakaian. Berember-ember penuh kau cuci dengan tangan. Tangan mungilmu seperti tak kenal lelah. Aku hanya membantu membilas dan menjemur. Di tanganmu, guratan keriput adalah bukti cinta tanpa akhir. Di mungil kakimu, jejak kehidupan kami.
Di hari tuanya, kini ia menikmati cinta dan perhatian anak-anaknya |
Tangan mungil itu kini penuh keriput |
Sesudah itu selesaikah? Belum. Saatnya mencegat tukang sayur yang lewat di dalam kompleks. Selesai menjemur pakaian, aku mulai membantu merajang sayuran. Engkau menghaluskan semua bumbu dengan cobek batu. Sekarang, untuk bumbu masak, aku menggunakan bumbu instan, Jika tidak ada bumbu instan, aku menggunakan blender untuk menghaluskan bumbu. Aku nyaris tak kuat dan tak terampil menggunakan cobek batu.
Jika sudah jam 11.00, engkau mengingatkanku untuk meninggalkan dapur. Sudah waktunya mandi. Selesai mandi, makan siang sudah tersaji. Selesai makan, aku berangkat sekolah. Usaikah pekerjaannya? Masih belum karena adik-adikku yang di sekolah dasar waktunya pulang. Ibu kembali harus menyiapkan meja makan. Tak jarang karena lelah, ibu menyuapkan keempat adikku. Itu berarti hanya satu piring dan sendok kotor. Ibu tak perlu banyak mencuci piring kotor. Itu adalah cara ibu mengurangi beban kerjanya. Tapi tidak mengurangi cinta dan kewajibannya dalam memberi makan anak-anaknya.
Usai memberi makan siang anak-anak, ibu akan mengantar mereka tidur siang. Ibu mengangkat pakaian dari jemuran lalu disisihkan. Sesudah itu ibu kembali ke dapur. Sejak kami kecil, jam 16.00 adalah waktunya minum teh dan camilan. Saat besar aku baru tahu istilah tea/coffee time. Sejak kecil kami sudah terbiasa. menikamti tea dan kue-kue buatan ibu. Mulai dari pancake, pisang goreng, atau sekedar ubi dan singkong goreng.
Biasanya kami menikmati teh dan kue sesudah mandi sore, lalu kami diijinkan bermain dengan kawan-kawan dalam kompleks. Jam 17.30 saat Ayah pulang kerja, berarti kami juga harus pulang. Waktunya belajar. Biasanya kami duduk melingkar di meja makan. Meja makan kami besar, berukuran untuk 10 orang. Tapi biasanya hanya yang kecil-kecil yang duduk di meja makan untuk belajar. Kakakku punya meja belajar di kamar masing-masing. Dan merekalah yang bergantian mengawasi kami belajar. Tapi jika kami tidak bisa, maka kami tetap bertanya ke Ayah dan Ibu.
Usai belajar, waktunya makan. Biasanya kami makan mengelilingi ayah di meja makan. Ibu bolak-balik dapur-ruang makan. Begitu kami selesai makan, baru ibu makan dan tetap ditemani ayah di meja makan. Saat makan, selalu ramai dan seru. Tak sedikitpun aku melihat atau mendengar ibu mengeluh. Biasanya kakak-kakaku yang bergantian mencuci piring, sementara kami berkumpul di lantai dekat tempat tidur Ayah, mendengar Ayah atau Ibu bercerita tentang kehidupan mereka sebelum di Jakarta.
Ayah dan Ibuku berasal dari Menado. Ketika memiliki empat orang anak, mereka merantau ke Jakarta. Sebelumnya sempat di Cirebon dan lahir seorang kakakku. Kami senang mendengar kisah perjalanan mereka terutama seminggu di kapal laut dari Menado ke Jakarta. Biasanya penuh canda dan gelak tawa. Acara televisi tidak terlalu disukai. (Maklum baru TVRI) Setelah puas bercanda, Ibu mengiring kami gosok gigi lalu ke kamar untuk tidur. Karena kami bersaudara banyak, tiap kamar diisi dua orang. Ayah dan Ibu secara bergantian mengecek ke kamar-kamar kami.
Aku selalu tahu, Ayah tak pernah tidur. Karena sepanjang malam selalu ada lagu yang mengalun dari tape recorder. Sehingga kami tak pernah takut jika terbangun di tengah malam untuk minum atau ke kamar mandi. kami juga selalu tahu, jika ada sentuhan hangat di kening, berarti Ayah atau Ibu mencium kami. Mengenang sosok perempuan yang menjadi ibu. Adalah mengenang perempuan berdaster yang tak pernah lelah.
Entah darimana sumber kekuatannya. Tapi satu yang kutahu cinta ibu adalah energi kami. Mungkinka kami, anak-anaknya adalah energi baginya? Sebagaimana aku merasa kedua anakku sebagai sumber energi kehidupan bagiku. Demi dan untuk anak-anakku, aku mau melakukan apa saja. Sama seperti yang sudah dilakukan ibu bagiku dan saudara-saudaraku.
Aku bersyukur diusianya yang sudah 84 tahun, aku masih bisa menemani, menyayangi dan memeluknya. Aku terus dan berusaha menunjukan agar ia tahu, aku mencintainya dengan seluruh aliran napasku. Ibu, adalah cinta tanpa akhir
Saat aku menemaninya di akhir pekan |
Sampai di bagian ayah, aku jadi ingat suamiku. ia juga selalu begadang sehingga jam berapapun anak2 bangun, ia selalu ada. Mungkinkah mereka akan merasa aman yang sama?
ReplyDeleteSelamat hari Ibu.....
ReplyDeletehiks, Bu e pagi2 dah masak, aq molor
Benar-benar profil Bunda yang hebat dan tidak tergantikan ya Mak... saya tergelitik sama foto jari jemari sang Bunda yang berkenan di foto. Hihi, salam hormat saya pada beliau deh :)
ReplyDeleteMba Susi. Saya garansi. pastinya anak-anak merasa kenyamanan seperti yang saya rasakan. Kalau kami kakak beradik berkumpul, topik alamarhum ayah yang teringat selalu "penjagaannya" di tengah malam
ReplyDeleteJiah, :(
Mak Christanty
Foto jemari itu diambil nggak sengaja, entah kenapa pas berdekatan ingin mengabadikan gambarnya. Eh ada moment ini dan ilustrasinya jai pas :)
terima kasih sudah mampir dan meniunggalkan jejak