Sudah pukul 01.05 tapi mataku tak
mau terpejam. Mungkin karena penyesuaian tempat. Cukup lama aku tak tidur di
kamar ini. Kedua anak dan suamiku sudah lelap di buai mimpi. Si sulung dengan
posisi miring tanpa memeluk guling. Si bungsu telentang, tangan di dada
memegang ujung rambutnya. Sementara belahan jiwaku dengan posisi yang sama
persis dengan si sulung. Keduanya memang bagai pinang di belah dua.
Kami tiba di rumah ini menjelang
magrib. Rumah yang dulu selalu ramai setiap waktu kini sepi bagai tak
berpenghuni. Semua anak-anak sudah menikah, tinggal seorang saja yang masih
menemani Emak disini. Satu adik laki-laki suamiku tinggal disini bersama istri
dan dua anaknya. Sayup-sayup kudengar suara adzan magrib.
Rupanya Emak mendengar suara
pagar di buka, kepalanya terlihat melongok dari arah belakang rumah. Karena
rumah ini sedikit penghuninya, maka pintu depan
jarang di buka, semua aktifitas keluar masuk dari arah belakang. Bagian
belakang rumah ini adalah jalan keluar dari dapur. Persis di belakang dapur ada
pendopo kira-kira berukuran 3 x 6 m. Di pendopo inilah biasa kami
bercengkerama.
Emak melambaikan tangan.
“Emak sholat dulu yah’ kata Emak.
“Iya Mak, jawabku dan suami
bersamaan”. Emak menghilang dari pandangan,
kedua anakku terlihat jelas menahan diri untuk tidak berlari. Keduanya berjalan
cepat. Duduk di pendopo, melepas kaos kaki dan sepatu.
Lamunanku terhenti ketika
mendengar pintu terbuka. Kulirik jam dinding, menunjukkan pukul 02.30. Aku segera berdiri dan keluar kamar. Kulihat Emak duduk di pendopo.
“Sudah bangun Mak?” uh pertanyaan
bodoh, rutukku dalam hati.
“Tidak bisa tidur”
“Mak masih merasa kurang sehat?
Kata dokter Mak boleh puasa?”
“Dokter melarang”
“Yah, kalau begitu jangan puasa
dong Mak” ujarku mengingatkan. Belum lama ini Emak memang baru keluar dari
Rumah Sakit setelah 5 hari dirawat. Usianya sudah 79 tahun. Kami terdiam. Kulihat
suamiku juga bangun. Dengan kesahajaan seorang anak, ia memeluk dan mencium
ibunya.
“Sahur apa kita Mak?”
“Seadanya saja, cuma ada sayur
sop “ jawab Emak. Perempuan tua itu tampak kecil dalam pelukan anaknya yang
juga adalah suamiku.
“Boleh tambah telor dadar yah”
pintanya manja. Aku meninggalkan mereka
berdua. Aku menyalakan kompor, menjerang air dan memanaskan sayur sop. Susana
sepi hanya sayup-sayup terdengar orang
mengaji. Aku menarik nafas panjang menghirup semua bebauan dalam suasana
seperti ini. Bau yang tak pernah sama
tiap tahunnya. Selalu menambah koleksi bau kenangan dalam memoriku
Aku tak membangunkan anak-anak
karena kami memang non muslim. Kami sahur
dalam diam dan dalam pikiran masing-masing. Aku bersyukur masih bisa
menemani dan melihat suamiku bersama ibunya. Ada kerinduan yang mengusik tepian
hatiku. Aku merindukan ayah mertuaku, lelaki yang biasa kusapa dengan sebutan
opa. Dulu, di meja ini aku sempat bersahur bersamanya. Bersama adik-adik
suamiku yang sekarang semua sudah menikah.
Almarhum mengenalkanku dengan
puasa dan sahur tanpa sedikitpun memaksa atau menggurui. Dalam diam antara syukur
dan kerinduan kunaikan doa karena Tuhan telah memberi kesempatan aku
mengenal laki-laki terhormat yang mengijinkan anaknya menikahiku. Juga untuk
ibu mertuaku, untuk keluargaku dan aku selalu berharap ada harmonisasi
kehidupan antar umat beragama.
No comments:
Post a Comment