Curhatku

Kartini Riwayatmu, Dulu.

21 April diperingati sebagai Hari kartini. Indoktrinasi ini, saya dapatkan sejak duduk di bangku Sekolah Dasar.. Bahkan sejak di Taman kanak-kanak. Setiap siswa diwajibkan memakai pakaian daerah. Saat di TK, semua memakainya, baik laki-laki maupun prempuan. Tapi ketika SD, rasanya hanya anak perempuan yang berkebaya.

Sumpah, sampai saya setua ini, saya tidak melihat ada korelasi berkebaya dengan perjuangan Kartini. Tapi sejak kecil, saya dididik untuk tidak membantah. Jadi ikut saja. Kedfua orangtua saya, juga mengikuti aturan main. Setiap tanggal 21 April, kehebohan di rumah pasti terjadi. Pasalnya, kami bersaudara permpuan semua.

Dan semakin seru alias rusuh. Kedua orangtua saya yang asli Menado ini (Eh Oma saya dari Papa berasal dari Jawa). Pokoknya 3/4 dari Menado. Biasanya Papa akan mengharuskan kami berkebaya Menado. Biasanya kalau mau ikut lomba berkebaya di hari Kartini, yang bakal memang yang pakai kebaya dan sanggul mirip Kartini. Model Kebaya Kartini dan model Kebaya Menado tidak sama. Pasti deh, kakak-kakak saya akan ngambeg dan cemberut. Saya cuma diam dan melihat. Maklum belum punya suara.

Begitu saya duduk di SMP, saya menolak memakai kebaya. Saya akan berpartisipasi di lomba yang lain, misalnya menulis atau membaca puisi. Dan ini tidak perlu pakai kain dan kebaya. Ketika saya sudah kuliah, pikiran saya makin terbuka. Saya merasa ada unsur kesengajaan membelokkan makna perjuangan Kartini.

Bahkan emansipasi pun dimaknai keliru. Emansipasi dipahami tuntutan sejajar dengan kaum pria. Sejajar yang seperti apa? Jelas-jelas Perempuan dan pria/laki-laki tidak sama. Terutama berdasarkan fisik. Tetapi sebagai peran-peran di dunia yang menyangkut berkarya, peremuan dan laki-laki tidak jaug berbeda. Misalnya dari tingkat intelegensia.

Tidak pernah ada data yang mengatakan peremuan lebih tinggi ataupun sebaliknya. Perjuangan Kartini karena pada masanya di suku Jawa, ada nilai/ajaran yang mengharuskan perempuan berada di belakang. Dipahami menangani urusan dapur. Kalau cuma mengurusi bagian belakang, maka permpuan tidak perlu pandai (Bisa membaca dan menulis) Sehingga niat bersekolah dianggap sebagai sebuah pembangkangan, ingin menjadi saingan lelaki.

Di masa itupun, peremuan adalah warga kelas dua. Segala sesuatu mengacu pada kaum lelaki. Jika Kartini dianggap pejuang kesetaraan jender, karena Kartini meyakini urusan pendidikan, seharusnya perempuan mendapat hak yang sama. perempuan juga boleh pandai (Bisa membaca dan menulis). Perjuangan Kartini dianggap berhasil karena keinginan yang disuarakan lewat surat-suratnya kepada sahabatnya yang warga Belanda, mulai diwujudkan oleh perempuan-perempuan pada generasi selanjutnya.

Kartini memperjuangkan buah pikirnya. Keberanian menyatakan buah pikiranya lewat tulisan, itulah kekuatannya. Secara fisik ia terbelenggu tapi pemikirannya menjadi besar ketika ada yang mewujudkannya. Kartini dianggap besar karena belum ada perempuan dengan pemikiran semaju Kartini. Cara pandangnya ini yang menjadi kekuatan luar bisa dan mengantarkan generasi sekarang pada kehidupan yang lebih baik sebagai perempuan.

No comments:

Post a Comment