Rasa mules langsung menyerang perut, keringat dingin mengalir langsung membasashi tengkuk. Aku tak mendapatkan uang Rp. 100.000 di saku celana panjang. Aku mau marah rasanya. Bukan semata karena itu uang terakhir di dompetku tapi aku membayangkan harus jalan kaki dari Blok M sampai ke rumahku di bilangan Kreo, yang kira-kira berjarak 7 km. Kesal, marah dan takut bercampur jadi saku. Jarak tebet-Blok M sebetulnya tidak jauh, tapi karena jam pulang kerja, perjalanannya jadi tersendat-sendat.
Aku coba mengingat-ingat kronologis aku memasukan uang Rp. 100.000 ke saku celana. Mulai dari tebet, naik metromni, berdiri, membayar. Samar-samar aku teringat saat berdiri ada yang merapat di belakangku, dan aku merasa terdorog-dorong, tanganku cepat menekan saku berisi hape. Aku lupa dengan saku sebelah. Saat itukah aku di copet? Apa iya aku di copet? Tapi mana mungkin jatuh, saku celanaku cukup dalam dan tidak bolong. Aku bicara sendiri dalam hati.
Hari menjelang pukul 16.00 sore ketika aku selesai memandu diskusi untuk sebuah penelitian kualitatif di daerah tebet. Aku meninggalkan gedung perkantoran dengan menggunakan metromini menuju terminal blok M. Dari blok M aku harus menumpang satu kali lagi hingga ke rumah. Uang di dompetku tinggal selembar Rp. 100.000. Maklum memang sudah diakhir bulan. Uang lembaran berwana merah itu segera aku simpan di saku celana panjang.
Sesudah memandu diskusi selama dua jam dan cuaca panas, menimbulkan rasa haus. Tenggorokkan ini terasa kering. Aku membayangkan segelas es campur, dingin dan manis. Aku berencana akan membeli es campur di dekat terminal Blok M, aku tahu ada satu warung bakso di belakang toko buku Gramedia yang juga menjual macam-macam es. Aku memasukan tangan ke saku celana untuk memastikan keberadaan selembar Rp. 100.000. Aku tak menemukan uang terakhirku.
Aku tidak suka mengeluarkan
dompet di kendaraan umum. Apalagi jika angkutan penuh, pasti merepotkan. Benar
saja, metromini sudah lumayan penuh waktu aku akan naik. Wajarlah, ini jam
pulang kerja. Begitu aku naik, kondektur langsung menagih. Ternyata di saku
celana yang satu ada 3 lembar uang ribuan yang terlipat-lipat, sisa ongkos tadi
pagi. Aku membayar dengan uang itu Rp. 2.000. Dengan pertimbangan, tidak
perlu menunggu kembalian. Aku berdiri hampir 30 menit ketika akhirnya mendapat duduk. Aku segera mengeluarkan HP,
untuk mengecek apakah ada telephone masuk atau pesan singkat. Soalnya selama
diskusi berlangsung hp memang aku kecilkan volumenya. Yah, ampun baterenya nge
drop. Langsung aku matikan.
Segera aku mengambil hape dan
menghidupkan kembali. Berdoa semoga power
bateray masih cukup untuk mengirim pesan ke suami agar menjemputku di blok. M. Kesal
benar rasanya, karena pesan tidak terkirim. Aku matikan hape dan mendiamkan
beberapa saat, dengan tetap berharap dan berdoa lalu aku hidupkan kembali. Aku
ulang mengirim pesan dan lagi-lagi tidak terkirim. Jantungku berdebar makin kencang laksana drum yang ditabuh Jelly Tobing. Oh no…jangan-jangan tidak
ada pulsa. Tuhan, kasihani aku, doaku dalam hati. Waktu aku cek, benar saja pulsaku tidak mencukupi hanya Rp.15. Apes
pangkat dua, duit dicopet, pulsapun tidak ada. Lengkap sudah deritaku sore ini.
Aku mencoba tenang dan memikirkan
cara agar tidak harus jalan kaki. Aku mencari sisa-sisa receh, yang barangkali
bisa menyelamatkan. Di saku celana ada selembar Rp. 1000. Sudah aku korek-korek
dasar tas, gak ada lagi uang. Kira-kira kalau aku naik metromini dan bilang
uangku kecopetan, kondektur mau percaya gak yah? Akukan tidak menipu, ini jujur. Atau aku tukarkan
selembar ribuan ini dengan uang logam dan menelphone suami dari telephone umum.
Tapi apa masih ada telephone umum yang layak pakai? Aku mencoba mengingat-ingat
keadaan blok M, dimana ada telephone umum. Ada beberapa, semoga berfungsi
harapku. Aku terus berdialog sendiri dalam hati.
Sepanjang jalan yang macet aku
tetap memikirkan alternative lain andai, telephone umum rusak. Maukah kondektur
menerima pembayaran Rp. 1000. Tapi melihat penampilanku dalam pakaian kerja dengan
sepatu pantovel berhak 5 cm, rasanya aku bakal dihina dan di cemoohkan. Kalau tidak malu, mau rasanya aku menangis. Berjalan
kaki dari blok M ke Kreo dengan sepatu berhak 5 cm seimbang rasa menyiksanya
dengan rasa malu kalau naik metromini bayar seribu. Apalagi postur tubuhku
sudah seperti emak-emak. Kalau langsing aku masih bisa berharap kondektur
melihatku seperti mahasiswi.
Aku menimbang-nimbang hape, ini
penyelamat terakhir. Kalau aku gadaikan, aku bisa menelphone suami dari warnet
di toko buku Gramedia, menikmati segelas es campur sambil menunggu suami
menebus hapeku kembali. Perasaanku kini menjadi tenang. Paling tidak aku sudah
mendapatkan solusi untuk tidak dipermalukan maupun berjalan kaki dari blok-M ke
Kreo.Tiba-tiba hapeku bergetar, muncul nama suami dilayar hape, aku berkata
cepat sebelum power bateray nya
habis. “Jemput Gramedia low bat,” selesai aku bicara, hape mati total.
Hari ini tidak jadi hari yang
sial. Aku mengikhlaskan uang yang dicopet, jadi tidak ada perasaan kesal. Bukan
hanya karena terhindar jalan kaki dengan pantovel 5 Cm dari blok-M
sampai Kreo. Tapi juga karena Tuhan menggerakkan suami menelphone aku. Begitu melihat suami memasuki
lantai dua Gramedia, aku langsung mendekat dan memeluknya. Aku tidak peduli
pada banyak pasang mata yang melihat. Terima kasih Tuhan untuk laki-laki yang
kau jadikan suamiku. (Minggu: 27 Mei 2012)
Postingan ini dalam rangka Lomba Blog Pojok Pulsa:
Pojok Pulsa – Pulsa Elektrik - Pulsa Murah - Voucher Game Online.
Mau Pulsa Gratis? Follow: @pojoktweet | Facebook Page Pojok Pulsa | Pojok Pulsa Google Plus Page
Pojok Pulsa – Pulsa Elektrik - Pulsa Murah - Voucher Game Online.
Mau Pulsa Gratis? Follow: @pojoktweet | Facebook Page Pojok Pulsa | Pojok Pulsa Google Plus Page
No comments:
Post a Comment