Saya seorang ibu rumah tangga dengan dua orang anak berusia
11,5 tahun laki-laki dan 8,5 tahun perempuan. Di sela-sela kegiatan mengurus
rumah tangga, mengikuti perkembangan situasi yang terjadi dalam dan luar negeri
lewat media menjadi pilihan saya untuk tetap update informasi.
Berikut ini hasil dialog imajiner saya dengan RA Kartini.
Elisa Koraag : Bagaimana pendapat ibu mengenai
situasi dan kondisi perempuan di Indonesia?
RA Kartini : Pastinya saya sangat bersukacita
melihat kemajuan perempuan Indonesia.
Elisa Koraag : Apakah kondisi perempuan Indonesia
saat ini sudah seperti yang ibu bayangkan atau harapan di masa ibu dulu?
RA Kartini : Ya, kondisi sekarang bahkan bisa
saya katakana melebihi apa yang saya harapkan.
Elisa Koraag : Kondisi seperti apa yang menurut
ibu melampaui apa yang ibu harapkan?
RA Kartini : Pada masa saya, keterbatasan gerak
prilaku perempuan membuat saya merasa perempuan sebagai warga kelas dua. Para
perempuan tidak terlihat pernah terlihat karena tempatnya hanya di kamar dan di dapur.
Elisa Koraag : Maaf bu memotong, sebenarnya
perempuan sebagai warga kelas dua pada kondisi tertentu masih dialami perempuan Indonesia. Makanya ada
kementrian perempuan. Bagaimana menurut ibu?
RA Kartini: Kita harus melihat dari kacamata
positif. Artinya keberadaan Kementrian Perempuan yah harus disyukuri. Bukan malah jadi bahan olok-olokan, karena
perempuan tidak bisa mengurus diri sendiri sehingga harus di urus Negara.
Keberadaan Kementrian perempuan harus disikapi sebagai bentuk perhatian atau
perlindungan Negara kepada perempuan dan semua persoalan yang dihadapi kaum perempuan.
Saya tegaskan dengan semua persoalan yang dihadapi perempuan.
Elisa Koraag : Tapi tidak sedikit yang merasa
Keberadaan Kementrian Perempuan hanya sebagai upaya pelecehan pada kemampuan
perempuan bu?
RA Kartini: Maksudnya?
Elisa Koraag : Bisa di bilang pada masa ini,
semua pintu terbuka lebar bagai para perempuan. Baik dari segi pendidikan,
maupun profesi pekerjaan. Sehingga bagi perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi dan
mempunyai akses luas dalam pergaulan, beranggapan aneh kalau masih ada
peraturan mengenai izin cuti bagi perempuan yang mendaptkan haid di hari pertama.
Menurut mereka, keistimewaan seperti itu, menunjukan kelemahan perempuan. Karena di satu sisi perempuan menuntut
diperlakukan sama dengan lelaki.
RA Kartini : Saya paham. Tapi justru
perempuan-perempuan semacam itu yang tidak memahami persoalan perempuan secara
meluas. Kelompok peempuan-perempuan seperti itu hanya memandang segala sesuatu
yang nampak sejauh pandangn matanya
saja.
Elisa Koraag : Maksudnya bu?
RA Kartini : Para perempuan ini hanya berdiri
dan memandang datar sejauh garis pandang matanya. Mereka tidak melihat lebih
jauh, di bawah garis batas sudut pandangnya. Jangankan di bawah garis pandang,
dibalik garis pandangnya pun mungkin tak terlihat. Apalagi kalau mereka tidak
melihat dengan mata nurani. Karena mata fisik mempunyai keterbatasan daya
jangkau.
Para perempuan ini belum melihat dengan sudut pandang yang
lebih luas. Kalau mereka mau naik ketempat yang lebih tinggi maka sudut pandang
mereka otomatis lebih luas daya jangkaunya.
Elisa Koraag :
Apakah ada factor penyebab kondisi perempuan dengan pandangan semacam
itu?
RA Kartini : Faktor penyebab pasti ada. Salah
satunya tidak mensyukuri hidup ini. Kalau saja mereka mensyukuri akan apa yang
sudah mereka terima, saya yakin mereka punya keinginan untuk berbagi. Pada saat
keinginan untuk berbagi itu datang, mereka akan mencari tahu dengan siapa
mereka akan berbagi. Karena logikanya kalau kita berbagi pasti dengan orang
yang kekurangan. Baik kekurangan materil ataupun kekurangan fisik. Tidak
mungkin kita berbagi dengan orang yang melebihi diri kita, Iya kan?
Elisa Koraag : Tadi ibu mengatakan bahwasannya
kondisi perempuan Indonesia saat ini melampaui harapan ibu. Apakah sikap dan
tingkah pola prilaku para perempuan ini juga melampaui harapan ibu?
RA Kartini : Untuk urusan dalam rumah tangga atau
profesi pekerjaan. Jujur harus saya katakana ya. Tidak pernah sedikitpun terbayang atau
terpikir ketika saya memperjuangkan kesetaraan perempuan menjadikan perempuan pesaing lelaki. Menurut
saya lelaki dan perempuan harusnya hidup berdampingan. Sebagai pasangan yang
saling mendukung. Masing-masing mempunyai kelemahan dan kekuatan yang harusnya
saling mengisi dan melengkapi.
Elisa Koraag : Idealnya seperti itu bu.
Kenyataannya seringkali perceraian menjadi solusi pertama bukan terakhir dalam
upaya mengatasi konflik dalam rumah tangga. Bagaimana menurut ibu?
RA Kartini : Untuk hal itu saya tidak mau
berkomentar karena di luar hal-hal yang saya perjuangkan.
Elisa Koraag : Ok. Baik bu. Bagaiman pendapat ibu
mengenai perempuan-perempuan Indonesia yang sekarang banyak berkiprah di dunia
politik?
RA Kartini : Sangat baik.
Elisa Koraag : Apakah ibu mengikuti pertumbuhan
dan perkembangan politik Indonesia?
RA Kartini : Bukan hanya di Indonesia tapi juga
dunia. Saya mengikuti semua.
Elisa Koraag : Termasuk masalah ekonomi yang
membelit hampir semua Negara?
RA Kartini : Ya. Ketika krisis ekonomi
membelit, orang baru tersadar kalau hal itu disebabkan “keserakahan”. Andaikan
semua orang memaknai kata “cukup” dengan benar. Maka krisis apapun tidak akan
pernah terjadi. Cukup sebenarnya kata lain dari tidak kekurangan. Masalahnya
sifat dasar manusia yang tidak pernah merasa puas, sehingga cukup menjadi
sebuah kekurangan. Merasa kurang karena baru sampai taraf cukup.
Paradigm berpikirnya harus di balik, ketika seseorang merasa
cukup, maka ia akan mensyukuri bahwasannya masih menikmati semua yang ada.
Jangan justru kata cukup dimaknai untuk berbuat atau mengambil sesuatu yang
bukan miliknya. Misal cukup berani untuk
melanggar aturan.
Elis Koraag : Menurut ibu, apakah saat ini peran
keluarga dalam meletakan dasar bermasyarakat masih diperlukan?
RA Kartini : Tentu. Keluarga adalah unit terkecil
dalam sebuah masyarakat. Sebelum keluar dalam lingkungan yang lebih luas,
anak-anak yang lahir dan dibesarkan dalam sebuah keluarga, menjadi tanggung
jawab penuh orang tua. Orang tualah yang pertama mengajarkan nilai-nilai luhur
dan santun kepada anak. Dari orang tualah pertama kali anak meniru semua sikap
dan prilaku termasuk gerak tubuh.
Elisa Koraag : Tapi bu, situasi dan kondisi
sekarang sudah keluar dari tatanan. Sekarang banyak pasangan yang bekerja,
sehingga anak di asuh keluarga dekat (Ibu, kakak, adik) atau suster/pembantu
RT. Sehingga waktu secara intens orang
tua dengan anak sangat terbatas. Tak sedikit anak yang hubungannya kurang dekat
dengan orang tuanya. Melihat fenomena semacam ini, bagaimana pendapat ibu?
RA Kartini : Memang tak bisa dihindari, situasi
dan kondisi menuntut kedua orang tua bekerja. Bukan hanya untuk memenuhi nafkah
tapi bisa jadi untuk aktualisasi diri si perempuan atau memang kemampuan para
perempuan ini dibutuhkan masyarakat. Kuncinya adalah kesadaran diri membagi peran,
sebagai istri, ibu, anggota masyarakat ( pekerja, kawan dll)
Elisa Koraag : Perempuankan bukan manusia super.
Perempuan juga bisa lelah.
RA Kartini : Benar, sebagai manusia pastilah
perempuan memiliki keterbatasan, Peran sebagai orangtua kan bisa dibagi dengan
suami. Suami itu ayah bagi anak-anaknya.
Itulah mengapa saya menginginkan kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan dalam segala peran. Bukan sekedar memperjuangkan para perempuan agar
bisa beraktualisasi di luar rumah, sebaliknya saya juga memperjuangkan
kedekatan hubungan ayah dan anak. Anak memerlukan sosok ayah dan ibun untuk
mempelajari peran yang lebih luas yang akan dimainkan saaat si anak terjun
dalam masyarakat.
Jaman saya, keterbatasan membaca dan menulis, membuat buta
akan informasi. Termasuk informasi membangun keluarga yang sehat antara
ayah-ibu dan anak. Bukan saya ingin
menjadi orang Belanda dan memaksakan budaya Eropa untuk bangsa saya. Mengapa
kita tidak meniru hal yang baik, sekalipun itu dari bangsa yang menjajah
Indonesia? Belajar dari mereka pula, Pemuda-pemuda Indonesia membangun
organisasi dan berkomunikasi satu dengan yang lain, makanya Kita bisa merebut dan memperjuangkan
kemerdekaan.
Elisa Koraag : Jadi keliru kalau kami memahami bahwa Ibu
memperjuangkan hanya kesetaran antara perempuan dan laki-laki saja?
RA Kartini : Ya keliru. Saya tetap meyakini tugas perempuan yang utama
adalah membangun dan mengayomi keluarga. Saya menghormati para perempuan yang
bekerja di luar rumah baik untuk mencari nafkah, atau aktualisasi diri. Namun
saya tetap berharap para perempuan tetap menjadi Tiang keluarga. Menyeimbangkan peran di luar rumah dan di
dalam rumah. Saya tidak pernah megharapkan para perempuan menjadi perempuan
super. Perempuan otomatis menjadi super ketika ia mengabdikan diri dan hidupnya
bagi orang lain, siapapun itu. Tidak terbatas pada suami dan anak-anaknya saja.
Kalau para perempuan ini mau mengoptimalkan kemampuan dirinya bagi orang di
luar keluarga, saya percaya para permpuan ini sudah lebih dulu meletakan
keluarga dalam sudut hatinya yang paling dalam dan memberikan prosi yang jauh
lebih besar dari yang diberikan pada masyarakat luas.
Elisa Koraag : Satu pertanyaan lagi bu. Memperingati
perjuangan ibu di setiap hari kelahiran ibu, 21 April. Banyak yang
menterjemahkan dalam berbusana dengan memakai kain kebaya . bagaimana menurut
ibu?
RA Kartini : Itukan hanya bentuk ekspresi. Setiap
orang bebas menterjemahkan dan syah-syah saja.
Elisa Koraag : Terima kasih ibu
No comments:
Post a Comment