Ini kali kelima, Dea memandang dirinya di cermin. Bayangan yang terpantul, sesosok gadis cantik. Berambut panjang sebahu, dibiarkan tergerai dan membingkai wajahnya yang berbentuk oval telur. Kulit kuning langsat, bersih dan segar. Mata indah sedikit sipit, bulu mata lentik yang dipayungi barisan alis mata hitam. Bibir mungil dipulas lipstick sewarna kulit. Jam dipergelangan tangannya menunjukan pukul 16.30. Ia harus berangkat jika tidak ingin terlambat. Dea menarik nafas panjang lalu menghembuskannya dengan kuat tanda kegalauan hatinya.
Dea kembali duduk dipinggir tempat tidur. Tangannya mengatup dipangkuan, mata terpejam. Sebaris doa terucap dalam hati. Ketika matanya terbuka, ada setitik sinar terpancar di sana. Sekali lagi ia memandang dirinya dicermin, mencoba tersenyum. Garing! Di sambarnya tas tangan di atas meja, lalu Dea bergegas keluar dari kamar. Setelah pamit pada mama dan papa, Deapun berangkat untuk mengikuti ibadah di Minggu sore.
Metromini 69 jurusan Ciledug_Blok M memang tak pernah bersahabat. Kondisi yang jauh dari layak jalan tapi tetap dipaksakan dan disiilah Dea terkurung untuk empat puluh menit ke depan. Jika beruntung jalanan tidak terlampau macet, tigapuluh menit Dea sudah bisa menghirup udara di luar metromini yang juga tidak lebih baik dari udara dalam metro mini.
Pengemudi mengemudikan metromini, seakan bukan manusia yang menumpang. Berhenti dan mengangkut penumpang disembarang tempat. Lebih parah lagi berhenti mendadak, sehingga penumpang terangguk-angguk plus perut mual dibuatnya. Tapi mau dibilang apa, inilah transportasi Jakarta. Angkutan umum tak layak jalan tapi masih beroperasi. Kondisi jalan raya di Jakarta sebetulnya lumayan bagus. Tapi tak mampu menahan jumlah kendaraan yang lalu lalang. Ditambah ketidaksiplinan penumpang dan pengemudi, membuat kemacetan sebagai keadaan yang harus diterima. Jangan bicara atau berharap kenyamanan bila menggunakan transportasi umum di Jakarta. Transjakarta atau Patas AC bila dibanding dengan metromini hanya beda nama, besar ongkos dan bentuk. Pendingin ruangan tak mampu memberikan kesejukan yang sesuai dengan ongkos yang dibayar penumpang karena penumpang yang naik melebihi kapasitas. Protes? Tidak akan ada gunanya, pilihan cuma take it or leave it.
Gerah dan pengab, membuat Dea harus mencari udara untuk mengisi rongga paru-parunya. Berulang kali ia mencium jemari tangannya untuk mendapatkan aroma harum dari krim tangan yang dipakainya. Karena diisamping Dea duduk seseorang , yang mengeluarkan aroma tidak sedap. Bau kecut keringat, asap rokok dan entah apalagi tercampur menjadi sebuah aroma yang sulit dijabarkan. Namun yang pasti sangat tidak sedap. Di depan ITC Cipulir, kemacetan tak terhindari. Manusia lalu lalang keluar dan masuk, Mungkin pedagang dan pembeli. Angkutan berhenti berharap ada penumpang karena berarti tambahan buat pendapatan. Metromini yang ditumpangi Dea, tak berusaha mendahului, malah ikut-ikutan antri. Dea tak mau memikirkan kemactean, pikirannya melayang jauh pada sosok pujaan hatinya, Fadjar.
Hubungannya sudah memasuki tahun ketiga. Dea dan Fadjar sudah mengenalkan keluarga masing-masing. Perkenalan keduanya terjadi saat Fadjar sebagai nasabah mengajukan kredit dari bank tempat Dea bekerja. Proses pengajuan kredit hingga kredit mencair, semua diurus Dea dengan professional. Sebagai ucapan terima kasih Fadjar mengajaknya makan. Dea menolak karena mengurus kepentingan nasabah adalah kewajibannya sebagai karyawan bank tempatnya bekerja.
Fadjar lelaki keras kepala dan gigih. Hingga suatu sore, bertamu ke rumah Dea. Tak ada alasan Dea untuk mengelak. Di luar jam dan tempat kerja. Keduanya langsung akrab dan lebur bersama kedua orang tua dan adik Dea, Dion dalam obrolan santai. Pertemuan malam itu di tutup dengan makan malam bersama keluarga Dea. Fadjar dengan sukacita menerima ajakan makan bersama. Gayanya yang santai, namun santun dengan mudah memunculkan lampu hijau dari kedua orang tua Dea.
Hari-hari berjalan bahkan berlari dan tak berhenti hingga kini memasuki tahun ketiga hubungan keduanya. Dan persoalan yang tak pernah dibicarakan akhirnya muncul juga kepermukaan dan tetap memerlukan pembahasan. Berulangkali Dea berpikir, seharusnya ini tidak terjadi. Tapi apa yang mau disesali? Kalau para penyair berkata bukan perpisahan yang kusesali tapi pertemuan yang kutangisi. Yah. Mengapa Dea harus bertemu Fadjar.
Mama pernah menyinggung sekilas tapi Dea enggan menanggapi. Dan selalu berkata biarkan hubungan ini mengalir seperti air. Berjalan mengikuti kemana permukaan yang rendah. Tak perlu dihambat atau dibelokan. Mengikuti arus tanpa harus hanyut memberi peluang selamat lebih besar ketimbang melawan arus. Tapi apakah prinsip ini akan berlaku?
Jakarta bukan lagi kota metropolitan. Sepuluh tahun terakhir Jakarta sudah menjadi Megapolitan. Multi etnis warganya, memperkaya keanekaragaman budaya. Pendatang sudah membaur dengan budaya Jakarta. Penduduk asli sebagian terpinggirkan dan menempati sekeliling Jakarta. Perbedaan budaya termasuk agama, secara umum dapat diterima semua pihak. Proses ibadah masing-masing agama berjalan apa adanya. Cuma untuk pembangunan tempat-tempat ibadah non muslim tetap tak semudah membangun tempat ibadah kaum muslim.
Hubungan social antara muslim dan non muslim secara umum juga baik. Dan inilah yang harus dihadapi Dea. Perbedaan agama antara dirinya dan Fadjar. Salahkan bila rasa cinta tumbuh diantara keduanya? Mengapa keyakinan dalam hal ini agama harus menjadi penghambat? Adakah dalam kitab suci agama apapun yang melarang orang untuk saling mencintai? Bukankah sebaliknya semua agama mengajarkan prinsip saling mengasihi dan menjauhkan kebencian?
Setiap Idul Fitri, Dea berkumpul bersama keluarga besar Fadjar. Sesekali ikut buka puasa bersama. Kebiasaan buka puasa bukan lagi sekedar ritual agama yang erat kaitannya dengan proses berpuasa itu sendiri. Tapi buka puasa sudah mejadi trend pergaulan. Dan tidak selalu diikuti hanya oleh kaum muslim. Biasanya kawan-kawan sepermainan yang non muslim kerap diundang atau dilibatkan dalama\ acara buka puasa. Baik acara buka bersama keluarga atau dalam kegiatan social seperti buka puasa bersama anak yatim piatu atau sahur bersama anak jalanan. Yah ini Jakarta. Kota yang tak pernah tidur. 24 jam tetap hidup. Di sudut-sudut jalanan masih ada manusia-manusia yang terbangun bahkan tetap bekerja. Seperti pekerja pembangun jalanan/gedung.
Begitupula Fadjar yang juga selalu hadir dalam acara natal dan tahun baru bersama keluarga Dea. Yang tidak saling mengikuti hanyalah ritual ibadahnya. Fadjar dengan sukarela mengantar atau menjemput Dea gereja. Dea juga sukacita menunggu Fadjar sholat tarawih. Bahkan mengingatkan saat sholat 5 waktu jika Fadjar sedang bersamanya. Lalu apa yang salah? Apakah Tuhan lebih dari satu? Mengapa keyakinan Dea dan keyakinan Fadjar mengajarkan cerita dan nama-nama nabi yang nyaris sama? Apakah Nabi Musa umat Kristen berbeda dengan nabi Musa umat Muslim? Apakah Ibrahim dan Abraham berbeda? Mengapa cerita kapal Nabi nuh dan musibah banjir bandangnya sama?
Metrominia 69 yang ditumpangi Dea memasuki terminal Blok M. Dea bergegas turun dan melanjutkan dengan jalan kaki. Memasuki rumah ibadahnya, ada perasaan yang sulit diucapkan menggedor nuraninya. Haruskah Dea melepaskan ritual ibadahnya dan menukar dengan sesorang yang akan mendampinginya dalam hidup berumah tangga? Dea tidak menukar keyakinannya terhadap Tuhan yang satu. Tapi tetap saja tidak mudah. Dan sudah lebih dari enam bulan Dea bergumul dengan dirinya sendiri. Begitu pula Fadjar. Mencari tahu, apa sebetulnya yang Tuhan inginkan bagi hubungan keduanya?
Menikah dengan berbeda keyakinan tidak bisa dilakukan di Indonesia. Kalaupuna bisa, salah satu dari pasangan pengantin harus menjadi pendusta lebih dulu. Berpura-pura pindah keyakinan lalu prosesi akad nikah atau ijab kabul dilakukan berdasarkan satu keyakinan. Sesudah itu kembali ke keyakinan semula. Kedamaian macam apa yang bisa tercipta jika dimulai dengan sebuah dusta?
Dea sempat terpikir, mengapa pemerintah tidak membuat batasan wilayah tempat tinggal dan hubungan antar warganya? Jakarta ada 5 wilayah, bagilah sesuai dengan jumlah agama. Dan kenakan sanksi seberat-beratnya jika ada warga yang berkomukasi atau berhubungan dengan warga yang berkeyakinan beda. Di saat dimana batasan dunia dihapus agar antar warga dunia tak terbatas dengan adanya internet, Indonesia tetap tak memberikan tempat bagi pasangan yang beda keyakinan.
Tenggang rasa dan solidaritas dianggap sesuau yang mustahil ada dan hidup dalam keluarga yang beda keyakinan. Padahal kuncinya sederhana. Ketika kita memberi ruang bagi orang lain menjalankan ibadahnya, maka ruang untuk menghidupkan toleransi dan kasih sayang akan tumbuh semakin luas. Tekanan-tekanan justru datang dari luar keluarga yang tidak ingin melihat orang lain bahagia dalam perbedaan,
Dea mengikuti inadah dengan tenang. Perlahan perasaan galaunya mulai menguap. Doa dan iman kepercayaannya menguatkan dirinya. Ibadah usai, Dea menutup ibadah dengan doa pribadinya. Hanya satu yang Dea sampaikan, Terjadilah apa yang akan terjadi sesuai kehendak Tuhan. Dengan imannya Dea akan menerima karena Dea meyakini Tuhan tidak selalu memberikan apa yang ia inginkan tapi Dea tahu Tuhan pasti memberikan yang terbaik baginya. Dan itu tidak dapat disangkal.
Jakarta tempat Dea dilahirkan. Tempatnya menimba ilmu dan merealisasikannnya dalam pekerjaannya. Merasakan hiruk pikuk warganya dalam setiap peristiwa istimewa. menjalin persahabatan dengan kawan-kawan dari berbagai suku, mengenal aneka ragam kuliner, mengikuti perkembangan pembangunan kota. Dengan segala problematiknya, Jakarta tetap mempesona. Bersolek sepanjang malam dalam balutan tatanan lampu hias. Mengenalkannya dengan cinta. Cinta dewasa antara perempuan dan laki-laki. Cinta yang mengandung rasa mengasihi sekaligus mengandung birahi. Dan terbentur pada perbedaan keyakinan. Membuat cintanya menjadi cinta terlarang. Dea tak mau ambil pusing namun tetap ada sebersit pertanyaan yang mengganjal, Mengapa Tuhan menurunkan Isa dan Muhammad ke dunia?
No comments:
Post a Comment