http://hukum.kompasiana.com/2012/02/23/putusan-mk-dalam-uji-materi-uu-no-1197
Keputuan Mahkamah Konstitusi di dalam
putusan uji materi atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, menjadi sebuah terobosan hukum. Keputusan ini menjadi
“peringatan” bagi kaum adam yang suka mengumbar syahwat. Pepatah
bilang, kalau tidak mau terbakar yah jangan main api.
Kalau tidak ingin digugat untuk mempertanggung jawabkan perbuatan hubungan seks di luar nikah/ di luar perkawinan resmi, ya jangan melakukan hal itu. Cobalah berpikir panjang, akan dampak pada anak yang dilahirkan. Sekalipun keputusan pengakuan akan hak-hak anak yang lahir di luar nikah sudah di atur dalam Undang-undang, Si anak tetap mempunyai beban psikologis.
Sangsi sosial akan menjadi beban seumur hidup si anak. Fakta anak dilahirkan di luar pernikahan tidak akan terhapus dengan di tetapkannya UU No 1/1974 Pasal 43 Ayat 1 bertentangan dengan UUD 1945 dan HAM. Namun keputusan MK tersebut minimal bisa memberikan efek jera pada kaum lelaki yang selama ini di untungkan dengan UU tersebut.Walaupun keputusan MK sudah ditetapkan, namun perangkat hukum kebawahnya belum ada. Ini harus segera dibuat dan disosialisasikan.
Banyak kawan-kawan saya yang bergidik membaca keputusan MK, baik laki-laki mapun perempuan. Kebanyakan sih perempuan. Komentar iseng sebagaian lelaki mengatakan “Kalau gitu gak boleh lupa bawa kondom deh!” Positifnya ini melindungi perempuan agar tidak hamil dan dari penyakit kelamin. Kalau perempuan tidak hamil dari hubungan seks di luar nikah, maka perempuan itu di untungkan dengan tidak menanggung kehamilan, biaya dan resiko mempertaruhkan nyawa yang ditimbulkan kalau si calon bayi akan lahir. Selain itu dengan pemakain kondom, para perempuan terlindungi dari beberapa penyakit kelamin. Moga-moga sikap para lelaki pengumbar syahwat yang bertekad akan menggunakan kondom bisa menurunkan angka penderita penyakit kelamin.
Sementara sebagian perempuan berkomentar, “Wah musti meningkatkan kewaspadaan dalam menjaga suami”. Kalau komentar ini dimaknai positif dengan meningkatkan komunikasi, dan perhatian, menurut saya ini akan menekan tingkat perceraian. Saya percaya anak-anak yang berada dalam lingkungan dimana orangtua berkomunikasi dengan baik, mengekpresikan perhatian dan kasih sayang pada pasangannya, maka anak-anak bisa tumbuh dengan bahagia.
Di luar negeri kedudukan sama di mata hukum sudah diterapkan. Di Indonesia hukum masih pincang bahkan bisa diperjual belikan. Namun terlepas dari semua itu, saya tetap membangun harapan, masih ada orang-orang yang nuraninya belum mati. Bahkan saya tidak mau mematikan harapan karena harapan adalah pelita hidup. Ketika kita mematikan harapan, maka semua yang kita jalani tidak ada artinya.
Kembali pada persoalan, diakuinya hak perdata anak atas hubungan dengan ayah biologisnya menjadi angin segar. Dengan begitu si anak bisa menuntut apa yang menjadi haknya yang diatur dan sesuai dengan UU. Lagi-lagi menurut saya hal ini meminimalkan anak yang terlantar/ditelantari orangtuanya.
Kalau suatu hari ada anak yang datang pada saya dan berkata “saya anak suami ibu!’ Mungkin saya akan pingsan. Mungkin saya akan ngamuk pada suami dan mungkin pula saya akan menuntut cerai. Tapi apapun yang saya lakukan kalau dengan pembuktian DNA anak tersebut anak suami saya, maka suami saya harus bertanggung jawab. Namun dari sekarang saya akan berusaha sekuat tenaga menjaga hubungan dengan suami agar tidak terjadi sesuatu yang kelak bisa menimbulkan penyesalan. (Icha Koraag 23 Feb 2012)
Aku ngeblog maka aku bahagia:
http://hukum.kompasiana.com/2012/02/23/putusan-mk-dalam-uji-materi-uu-no-1197
Kalau tidak ingin digugat untuk mempertanggung jawabkan perbuatan hubungan seks di luar nikah/ di luar perkawinan resmi, ya jangan melakukan hal itu. Cobalah berpikir panjang, akan dampak pada anak yang dilahirkan. Sekalipun keputusan pengakuan akan hak-hak anak yang lahir di luar nikah sudah di atur dalam Undang-undang, Si anak tetap mempunyai beban psikologis.
Sangsi sosial akan menjadi beban seumur hidup si anak. Fakta anak dilahirkan di luar pernikahan tidak akan terhapus dengan di tetapkannya UU No 1/1974 Pasal 43 Ayat 1 bertentangan dengan UUD 1945 dan HAM. Namun keputusan MK tersebut minimal bisa memberikan efek jera pada kaum lelaki yang selama ini di untungkan dengan UU tersebut.Walaupun keputusan MK sudah ditetapkan, namun perangkat hukum kebawahnya belum ada. Ini harus segera dibuat dan disosialisasikan.
Banyak kawan-kawan saya yang bergidik membaca keputusan MK, baik laki-laki mapun perempuan. Kebanyakan sih perempuan. Komentar iseng sebagaian lelaki mengatakan “Kalau gitu gak boleh lupa bawa kondom deh!” Positifnya ini melindungi perempuan agar tidak hamil dan dari penyakit kelamin. Kalau perempuan tidak hamil dari hubungan seks di luar nikah, maka perempuan itu di untungkan dengan tidak menanggung kehamilan, biaya dan resiko mempertaruhkan nyawa yang ditimbulkan kalau si calon bayi akan lahir. Selain itu dengan pemakain kondom, para perempuan terlindungi dari beberapa penyakit kelamin. Moga-moga sikap para lelaki pengumbar syahwat yang bertekad akan menggunakan kondom bisa menurunkan angka penderita penyakit kelamin.
Sementara sebagian perempuan berkomentar, “Wah musti meningkatkan kewaspadaan dalam menjaga suami”. Kalau komentar ini dimaknai positif dengan meningkatkan komunikasi, dan perhatian, menurut saya ini akan menekan tingkat perceraian. Saya percaya anak-anak yang berada dalam lingkungan dimana orangtua berkomunikasi dengan baik, mengekpresikan perhatian dan kasih sayang pada pasangannya, maka anak-anak bisa tumbuh dengan bahagia.
Di luar negeri kedudukan sama di mata hukum sudah diterapkan. Di Indonesia hukum masih pincang bahkan bisa diperjual belikan. Namun terlepas dari semua itu, saya tetap membangun harapan, masih ada orang-orang yang nuraninya belum mati. Bahkan saya tidak mau mematikan harapan karena harapan adalah pelita hidup. Ketika kita mematikan harapan, maka semua yang kita jalani tidak ada artinya.
Kembali pada persoalan, diakuinya hak perdata anak atas hubungan dengan ayah biologisnya menjadi angin segar. Dengan begitu si anak bisa menuntut apa yang menjadi haknya yang diatur dan sesuai dengan UU. Lagi-lagi menurut saya hal ini meminimalkan anak yang terlantar/ditelantari orangtuanya.
Kalau suatu hari ada anak yang datang pada saya dan berkata “saya anak suami ibu!’ Mungkin saya akan pingsan. Mungkin saya akan ngamuk pada suami dan mungkin pula saya akan menuntut cerai. Tapi apapun yang saya lakukan kalau dengan pembuktian DNA anak tersebut anak suami saya, maka suami saya harus bertanggung jawab. Namun dari sekarang saya akan berusaha sekuat tenaga menjaga hubungan dengan suami agar tidak terjadi sesuatu yang kelak bisa menimbulkan penyesalan. (Icha Koraag 23 Feb 2012)
Aku ngeblog maka aku bahagia:
http://hukum.kompasiana.com/2012/02/23/putusan-mk-dalam-uji-materi-uu-no-1197
No comments:
Post a Comment