Tiga minggu terakhir ini, adalah waktu yang sangat melelahkan bagiku. Menuntaskan date line report penelitian kualitatif sebuah Departmen Store di tambah persiapan project mendatang. Kedua project ini sama-sama punya target dengan cakupan wilayah se Indonesia. Detik-detik menjelang date line, aku masih harus mengikuti dua training yang berkaitan dengan project di tambah pre test untuk project mendatang. Kalau di pikir dengan akal sehat, aku merasa terlalu ambisius. Tapi salahkah menjadi ambisius?
Beberapa saat yang lalu, aku sempat mengalami tak ada pekerjaan yang pasti. Hari terasa berjalan lambat, aku menikmati rasa santai tersebut. Tapi dampaknya aku tidak memiliki keuangan yang sehat. Hidup bukan hanya memerlukan pengeluaran biaya bulanan, setiap hari ada biaya yang harus di keluarkan. Dengan tidak ada pekerjaan dan penghasilan yang tetap, aku harus pandai mengelola dana yang ada. Kadang terasa mencekik hingga leher seperti banjir yang baru melanda Jakarta. Di Indonesia rasa persaudaraan sangat tinggi, untuk makan aku tak kekurangan. Tapi operasional pendidikan anak-anak dan rumah tangga, menjadi beban yang luar biasa. Aku menerima dan mau bekerja apa saja yang bisa aku lakukan untuk terus menghasilkan dana untuk membantu keuangan keluargaku.
Jumat kemarin, saat Jakarta di guyur hujan lebat sepanjang hari hingga membuat sebagian besar Jakarta terendam, aku termasuk salah satu warga Jakarta yang berjuang menuju tempat kerja. Saat anak-anak berangkat sekolah, aku tak menduga hujan tak akan berhenti. Usai keduanya berangkat aku kembali duduk di computer menuntaskan laporan sambil menungu hujan berhenti. Tapi hujan seakan memiliki mesin pompa air dengan kualitas nomor satu, tak sedikitpun debitnya berkurang. Telephone dari kantor terus menerus menanyakan kapan aku sampai di kantor, karena laporan harus di produksi sebelum di kirim ke klien.
Pukul 12.30 anak-anakku pulang dalam ke adaan basah kuyup, aku mengurus mereka sampai yakin semua baik-baik saja barulah aku berangkat ke kantor. Perjuangan untuk sampai di kantor adalah perjuangan yang terasa gila. Tapi demi tanggung jawab aku harus lakukan. Di tengah guyuran derasnya hujan, skitar pukul 14.00 aku berangkat. Tidak punya pilihan kendaraan, aku naik ojek motor. Karena angkutan kota dan bis sudah jalan di tempat. Sampai di sekitar pertigaan BNI’46, perjalananku berhenti karena di hadang bajir selebar jalan raya sepanjang 25 m, dengan ketinggian melebihi pinggang orang dewasa di tambah arus yang kuat.
Otakku berpikir cepat. Di tengah kesusahan selalu ada hikmah bagi sebagian orang. Masyarakat sekitar memanfaatkan gerobak sampah dan gerobak sayur untuk menyebrangkan motor dan orang. Rp. 20.000 untuk motor dan Rp.5.000 untuk orang. Dalam keadaan normal siapa yang mau naik gerobak sampah? Merasa jijik karena kotor dan bau adalah perasaan wajar. Bau karena kotor identik dengan bibit penyakit.. Tapi tenggelam di air banjir adalah setali tiga uang dengan kotornya gerobak sampah yang saat kemarin aku naiki terasa bersih. Luapan air kali dengan 1001 bibit penyakit menjadi hal yang tak terpikirkan untuk ditakuti.
Di atas gerobak bersama lima orang lainnya aku menyebrang. Di atas gerobak, ketinggian air masih selututku. Kalau di pikir-pikir ini pengalaman kelimaku naik gerobak menyerbarang banjir. Cuma kalau pengalaman yang lalu tidak dalam ke adaan hujan. Kalau hari ini di bawah guyuran hujan.
Setelah melewati genangan bajir, aku melanjutkan perjalanan dengan taxi. Sepanjang jalan sangat banyak orang yang menunggu angkutan. Tanpa berpikir dua kali, aku mengajak beberapa orang perempuan yang menunggu dengan payung di tengah hujan. Tapi niat baik tidak selalu diterima baik. Tak sedikit yang reflek menolak. Aku hanya tersenyum. Niatku hanya mengajak sekalian karena toh di taxi bisa muat 3 orang lagi. Yang menyambut tawaranku hanya satu orang. Hanya Tuhan yang tahu, niat baikku. Dan niat baik ini terbalas, keesokan harinya.
Hari Sabtu kembali aku harus kekantor. Karena Sabtu anak-anak libur maka, anak-anak di rumah bersama papanya. Aku berpikir mungkin masih ada genangan air di pertigaan BNI’46, mengingat semalam aku melewati jalan tersebut dalam Patas 44 Senen-Ciledug, ketinggian air masih sebatas roda patas. Dan aku harus berasabar mengantri kemacetan sekitar 30 menit. Padahal malam itu, waktu sudah menunjukan pukul 23.10. Memang sudah larut malam tapi ketika aku baca koran pagi, tak sedikit masyarakat Jakarta yang baru tiba di rumah antara pukul 3 sampai 6 pagi akibat banjir sepanjang hari Jumat.
jadi aku kembali akan menggunakan oject motor untuk kekantor karena aku harus cepat agar kalau terhalang banjir masih tetap cukup waktuy untuk tiba di kantor sesuai janjiku. Saat memanggil ojek motor, tiba-tiba sebua motor dengan pengendaranya berhenti.
“Ojek ,mba?” Sapanya
“Iya” Jawabku
“Mau kemana?” Tanya si pengendara motor yang kali ini membuka kaca helm hingga aku bisa melihat raut wajahnya.
“Sudirman” Jawabku lagi.
“Yuk sekalian, saya mau ke pasar baru!” Ajaknya Tanpa berpikir dua kali, sku langsung menerima tawarannya dan naik di kursi belakang. Laki-laki pengendara motor ini meminjamkan aku sebuah helm. Maka meluncurlah kami dengan motornya.
Sekitar jalan Pakubuwono, ia meminta ijin untuk mengisi bensin. Dengan kesadaran sekaligus bentuk penghargaanku padanya, aku membayar bensinnya. Ia menolak tapi aku mengatakan ini ucapan terima kasihku karena boleh menumpang motornya. Sepanjang jalan kami ngobrol. Ia bekerja sebagai penjual obat-obatan dari beberapa perusahaan farmasi. Tinggalnya tak jauh dari rumahku. Karena kemarin Jumat ia tidak bekerja akibat hujan maka Sabtu yang biasanya libur, ia bekerja untuk menebus penjualan kemarin yang kosong.
Aku kagum, masih ada kesadaran mengganti hari kerja, padahal hujan ini identik dengan bencana alam. Tapi laki-laki itu mengatakan justru dengan kondisi seperti ini, kami harus memastikan distribusi obat-obatan tiba di apotik atau di toko obat karena sangat diperlukan masyarakat. Di samping bisa memenuhi target penjualan.
Perbincangan kami berhenti karena aku sudah tiba di depan Gerbang Gelora Bung Karno. Kami berpisah, aku mengucapkan terima kasih dan mendoakan ia baik-baik saja sampai di Pasar Baru. Saat menaiki tangga penyebrangan, karena kantorku di Plaza Bapindo persis berada di depan Gelora Bung Karno, aku baru tersadar, akutak menanayakan siapa nama pengendara motor itu. Ada sedikit rasa sesal mengapa aku lupa menanyakan namanya. Tapi segera ku tepis rasa sesal itu. Dalam proses sebuah penelitian jika tidak di ingat berarti dianggap sebagai sesuatu yang tak penting.
Misalnya penelitian mengenai expectasi konsumen pengguna car shampoo pada design packaging terhadap kualitas product. Ketika di tanyakan apa yang diingat dari kemasan packaging car shampoo yang digunakan, kebanyakan jawaban pertama adalah merk. Jawaban kedua warna dan jawaban ketiga kandungan produk. Atau ilustrasi gambar.
Artinya bagi yang menjawab Merk sebagai hal yang paling diingat, maka bisa diartikan konsumen tersebut menganggap merk yang paling penting. Selain merk konsumen itu merasa tidak penting. Ini bukan kesimpulanku tapi biasanya kesimpulan ini yang digunbakan dalam analisa kualitatif. So, aku merasa mungkin mengetahui namanya bukan hal penitng toh belum tentu aku bertemu dengan pengendara motor itu lagi. Tapi yang pasti perkenalan singkat itu menjadi kejadian yang cukup menyenangkanku. Apalagi aku tiba di kantor tepat sesuai janji jam 10.00 teng! Jadi kredibilitasku tetap tak di ragukan. Orang tak perlu tahu bagaimana proses aku menuju tempat tujuan, yang perlu bagi mereka, aku tiba tepat waktu. (Jakarta, Sabtu: 3 Februari 2008)
No comments:
Post a Comment