Berkomunikasi dengan anak bukanlah perkara mudah. Sebagai ibu dari dua anak yang masih berusia enam dan tiga tahun, untuk berbicara dengan anak-anak, aku membutuhkan ekstra kesabaran. Sebagai manusia biasa kadang aku ingin marah juga, apalagi jika dikejar waktu.
Seperti kejadian beberapa hari lalu
Maksud hati ingin menyenangkan Bas dan Van dengan mengajak mereka jalan-jalan ke Pusat perbelanjaan yang ada taman bermainnya. Tapi niat itu berubah menjadi kekesalan lantaran pertengkaran dengan Vanessa.
Vanessa adalah anak bungsuku, perempuan kecil yang punya kemampuan berbicara dengan baik. Lantaran kemampuan bicaranya melebihi kapasitas anak seusianya kadang membuat aku dan suami kewalahan. Van bukan hanya berbicara dengan lafal yang baik tapi juga termasuk menggunakan tata bahasa dan kosa kata yang banyak. Di tambah kemampuan analisa yang baik juga.
Pertengkaran itu di picu karena perbedaan selera berbusana. Sebelum mandi Van sudah berpesan ingin memakai t-shirt biru bergambar Mickey Mouse dan celana jeans. Aku menyediakan pakaian yang di inginkan Van. Ini bertolak belakang dengan kebiasaan dulu ketika aku seusianya. Bahkan sampai usia sepuluh tahun jika aku akan berpergian dengan keluarga, ibuku sudah menyediakan pakaian yang harus kupakai tanpa bisa di bantah. Aku tidak bisa menolak. Kenyamanan atau ke sukaan ku akan berbusana tertentu tabu untuk dikemukakan. Ibuku lebih tahu yang bagus dan pantas untuk di lihat orang bukan apa yang nyaman untukku.
Aku sengaja menerapkan pola berbeda dari pola didik ibuku, karena aku ingin anak-anakku mampu dan berani mengemukakan perasaan dan pendapat mereka, termasuk dalam hal berbusana. Dan itu membuat aku harus menerima segala resikonya termasuk pertengkaran dengan Van.
Bagaimana bisa menjumpai titik temu kalau warna biru yang aku maksud tidak sama dengan warna biru yang dimaksud Van. Hal sepele kadang menjadi masalah yang tidak sepele. Suamiku akan mengatakan kepadaku ”Ya mengalah toh sama anak!” Sementara bagiku bukan soal mengalah, akan lebih mudah memahami jika biru yang dimaksud Van sama dengan biru yang aku maksud.
Itu yang pertama. Kedua, toh kedua t-shirt itu sama serasinya jika dikenakan dengan celana jeans.Walau aku yang mengatur lemari pakaian, tapi aku tidak selalu ingat di mana meletakan baju yang dimaksud Van. Kalau sudah begitu maka, aku menjadi jengkel dan Van mulai menangis. Aku marah karena Van rewel, Van marah karena aku tidak mengerti. Berbicara dengan anak seusia Van (3,5 th) sungguh membutuhkan kesabaran yang luar biasa.
Biasanya dengan menarik nafas panjang aku butuh waktu sejenak untuk mengendalikan emosi. Lalu kalau sudah merasa lebih tenang, maka Van kupanggil, kupeluk dan kucium sambil meminta maaf atas kejengkelanku. Masih terisak-isak Van berkata:”Aku mau baju biru yang ada gambar Mickey Mouse” ujarnya
”Tapi apa bedanya dengan baju biru yang ini, nak? ” tanyaku sambil memgang t-shirt biru dengan motif Mickey Mouse kecil-kecil.”Bukan yang itu, mama. Tapi yang Mickey Mousenya satu di depan sini!” ujar Van sambil menunjuk ke arah dadanya.Oh la...la. Bagiku t-shirt biru ada gambar Mickey Mouse mau itu satu gambar atau kecil-kecil yang penting biru dan ada Mickey Mousenya. Tapi tidak bagi Van.
Dan untuk itu aku harus mengalah, kembali mengaduk-ngaduk isi lemari sambil mengingat-ingat kapan terakhir baju itu di pakai. Setelah buka tutup empat laci lemarinya, akhirnya nampak juga. Tertebus sudah segala kejengkelan lewat pelukan dan ucapan terima kasih dari Van. Matanya yang bersinar menghapus amarah yang sempat menggoda.
Dalam kehidupan nyata, berbicara dari satu titik pandangan yang sama memang tidaklah mudah. Jangankan dengan Van yang baru berusia 3,5 tahun. Dengan suami pun kadang timbul masalah. Kala aku merasa sangat yakin mengerti arah pembicaraannya tapi ternyata bukan itu yang dimaksud. Atau sebaliknya, aku bisa menjadi jengkel jika suami tak paham yang aku maksud. Dalam skala kecil paling menjadi bahan tertawaan tapi dalam skala besar, tidak mustahil menjadi pertengkaran.
Pada akhirnya aku menemukan kenyataan, bersabar dan menyimak adalah dua kunci untuk memahami arah pembicaraan. Mengenal kebiasan dan segala sifat lawan bicara memudahkanku memahami dari sudut persepsinya. Termasuk memahami apa yang di inginkan atau yang dimaksud anak-anak. Beda pendapat adalah hal biasa tapi menghormati perbedaan tetap tidak mudah apalagi kompromi dan menerima perbedaan itu sebagai satu kenyataan. Termasuk jika berbeda pendapat dengan anak-anak.
Kadang aku merasa lebih tahu dan lebih mengerti di banding anak-anakku karena aku orang dewasa atau orang tua. Dan tanpa sadar aku menjadi sombong yang di reflkesikan dengan marah-marah. Yah, aku marah karena aku merasa lebih tahu. Lebih tahu dalam hal kenyamanan dan keserasian berbusana. Tapi aku lupa anakku punya selera dan selera mereka tidak bisa aku atur.
Kalau sudah sampai pada pemikiran seperti ini, hanya penyesalan yang tinggal di dada. Karena pada dasarnya aku dan suami yang mendidik anak-anak untuk berani mengeluarkan pendapat. Kini aku dan suami kembali belajar untuk lebih memahami kemauan anak-anak dan cara berkomunikasi yang lebih mementingkan kesejahateraan mereka. Berharap dengan komunikasi yang lebih berempati, aku dan suami berusaha untuk tetap menjaga kedekatan hubungan dengan Bas dan Van. Tidak mudah memang, tapi aku akan terus berusaha.
mbak..
ReplyDeletehappy valentines yaaa
semoga setiap hari selalu menjadi hari penuh kasih sayang..
salam buat van dan bas..
kangen deh.. ama mbak..
kapan makan siang bareng??
Mbak Elisa,
ReplyDeleteSaya senang sekali loh membca tulisan-tulisan mbak ini apalagi setelah mengunjungi Blog Mbak Elisa. Sangat mengesankan. Nulis teruuuus ya.
Salam kenal dariku di USA.