Hari ini adalah hari pertama masuk kerja setelah libur Idul Fitri. Sebagian besar perusahaan sudah mulai beraktifitas. Bersyukurlah para majikan yang PRTnya sudah kembali. Tapi sebagian besar, termasuk saya masih diliputi was-was, apakah “Mbaknya” Bas & Van akan datang lagi. Waktu si Mbak mau pulang, dia berjanji hanya satu minggu dan akan kembali, paling terlambat satu hari, demikian janjinya.
Logikanya menurut saya, kalau dia mudik Jumat tgl 20 Oktober, mustinya tgl 27 atau 28 Oktober sudah datang lagi. Karena ia tahu, tgl 30 Oktober saya sudah masuk bekerja. Memang Bas dan Van baru kembali bersekolah tgl 6 November, minggu depan. Tapi tanpa si Mbak, maka saya harus menggunakan jasa penitipan ”Sayap Nenek”.
Saya menyebutnya demikian hanya sekedar plesetan. Di Jakarta ada sebuah panti penitipan anak-anak namanya “Sayap Ibu!” Nah kalau “Sayap Nenek”, sebuah panti yang biasanya sangat menyenangkan. Sebuah tempat dimana Si nenek senang dan si cucu lebih senang lagi. Karena kalau normalnya, si cucu datang atau menginap hanya Sabtu Minggu maka kali ini menginap Satu Minggu!
Tahun ke tahun menjelang Idul Fitri, persoalannya selalu sama. PRT mudik, anak ikut kerja. Sebetulnya untuk masyarakat Indonesia yang nilai kekerabatannya masih sangat kental walau terkadang hanya kalau ada perlunya, persoalan PRT mudik bisa tidak menjadi peroalan besar. Masih ada ortu yang senantiasa menjadi tempat pentipan.
Kemarin, hari Minggu sore saya mengantar Van untuk di titipkan di mami saya di Tangerang dan pagi ini, Bas di titipkan ke maminya Frisch di Bogor. Jadilah dua anak saya di titipkan di dua panti ”Sayap Nenek” yang berbeda. Nanti malam, saya tinggal berdua dengan Frisch. Secara bercanda pagi tadi Frisch sempat menggoda ”Wah kita bulan madu lagi nih!” Saya cuma tertawa.
Sebenarnya saya sedih dengan kondisi ini. Ini bukan kondisi yang pertama dan juga tidak akan menjadi kondisi yang terakhir. Dulu saya sempat takut, menikah dan mempunyai anak. Takut akan menghadapi kondisi seperti ini. Buat saya kondisi semacam ini sangat tidak menyenangkan.
Ketakutan tersebut, saya yakini menjadi salah satu penyebab mengapa saya baru mendapatkan anak di tahun ke-4 pernikahan saya. 3 tahun dalam pernikahan saya, ketika menghadapi Idul fitri, saya tidak mengalami kerepotan apa-apa. Waktu itu saya masih bekerja sebagai penyiar radio. Pukul 4.30, saya sudah meluncur ke studio untuk jaga gawang! Memberi kesempatan pada teman-teman bersiap-siap bersholat Ied!
Saat-saat itu, sangat menyenangkan buat saya. Saya bisa menyapa dan bersimpati pada semua orang yang karena tanggung jawabnya tidak bisa berIdul Fitri dengan keluarga, misalnya para petugas pemadam kebakaran, para dokter dan perawat jaga di RS, pekerja travel biro, petugas angkutan baik pilot dan crew, masinis dan crew serta supir dan awak bis. Juga mereka yang berjaga di Pompa bensin karena harus melayani pengisian bahan bakar bagi masyarakat yang akan bepergian. Bahkan mereka yang terbaring sakit! Dari balik runag kaca ukuran 3 x 3 m, saya bisa menyapa dan menemani masyarakat untuk kawasan Jakarta dan sekitarnya hinggal Lampung bahkan Cilacap. Setelah pukul 12.00, barulah saya digantikan.
Maka bersama Frisch saya baru mulai melakukan silahturahmi. Disinilah terasa ada yang kurang karena belum ada anak. Lalu saya berjanji, saya ingin hamil, dan melahirkan. Saya siap dengan segala resikonya termasuk kerepotan tidak ada PRT menjelang dan saat Idul Fitri. Sekarang, disinilah saya dengan segala persoalannya.
Tidak ada yang menjaga anak-anak hanya salah satu persoalan. Persoalan lain yang kelihatannya sepele tapi sebenarnya tidak sepele adalah beres-beres rumah.Dalam kondisi seperti ini saya mensyukuri memiliki rumah kontrakan kecil. Karena berarti menyapu dan mengepelnya tidak luas-luas amat!
Hari pertama ketika si mbak mudik, saya dan Frisch langsung membagi tugas. Saya urusan cuci baju dan dapur, Frisch urusan nyapu ngepel dan memberi makan Bas & Van. Begitu pekerjaan tersebut selesai, saya dan Frisch terkapar di tempat tidur sambil tertawa ngakak.
Itu baru hari pertama, energinya masih banyak. Hari kedua pun masih menyenangkan, tapi saya sudah minta izin untuk tidak masak dengan alasan, tukang sayurpun sudah tidak ada. Maka terselamatkan perut kami dengan makan di restaurant. Bas dan Van lebih senang lagi karena bagi mereka berarti jalan-jalan.
Minggu ini, persoalan belum gawat benar, karena Bas dan Van masih libur. Minggu depan kalau belum ada ”PRT” juga, saya tidak tahu harus bagaimana. Tapi berdasarkan pengalaman saya, di detik-detik terakhir saya selalu diselamatkan Tuhan karena ada saja solusinya. Jadi saya tidak mau terlalu memikirkan masalah tidak ada PRT. Que syera-syera what ever will be will be.
Cuma saya sempat merenung, andaikan negara kita sudah memikirkan kaum pekerja adalah aset, seharusnya ada fasilitas yang membuat para pekerja tidak kebingungan walau tidak ada PRT. Di Singapura atau di negara maju lainnya, di tiap-tiap gedung perkantoran ada tempat penitipan anak. Baik untuk bayi atau balita sehingga para orang tua yang bekerja bisa berkonsentrasi penuh dengan pekerjaannya tanpa harus memikirkan kesejahteraan anak.
Pekerja yang bisa berkonsentrasi akan menjadi pekerja yang produktif dan ini keuntungan buat perusahaan, sebaliknya pekerja yang dibingungkan dengan persoalan PRT ujung-ujungnya akan izin atau bahkan cuti. Persoalan PRT bukan hanya dialami sebagaian orang tapi hampir semua pekerja yang berumah tangga dan punya anak punya persoalan jika tidak ada PRT.
Artinya persoalan tidak ada PRT bukan hanya persoalan saya dan kamu tapi ada persoalan yang lebih besar dari itu. Ditambah kebijakan Pemda DKI yang melarang kaum pendatang untuk mencari kerja. Membuat ini menjadi persoalan yang pelik. DKI Jakarta sebagai ibukota negara sudah tentu menjadi daya tarik bagi masyarakat yang berada di luar Jakarta,
Gemerlap Jakarta baik dari fisik atau cerita dari mulut ke mulut selalu bagaikan gula yang memacing semut. Adalah hak setiap warga negara untuk mencari pekerjaan di Jakarta. Sayangnya tidak ada yang berani menggugat hal ini. Seingat saya dulu Urban Poor Consorsium dibawah koordinasi Wardah Hafids pernah mengangkat persoalan ini tapi hilang ditelan angin. Dan persoalan tidak ada PRT tetap menjadi persoalan yang akan terus mengantui kaum pekerja saat hari raya tiba! Satu-satunya alternatif tinggal berharap pada “Sayap Nenek” (Icha Koraag, 30 Oktober 2006)
No comments:
Post a Comment