Anya, Dino, Randu, Medi dan Icha
Dino Randu, Medi, Anya dan Icha (belakang) Pak Djoko, Pak Sobron dan Pak Harsutedjo (Depan)
INTERNET WADAH EKSPRESI BERSASTRA
Sabtu 14 oktober yang lalu, aku mengikuti ”Diskusi Cyber Sastra Bisa Apa” di Kedai tempo Utan kayu yang diselenggaraan oleh komuitas Puisi bunga Matahari. Tampil sebagai pembicara, aku mewakili Sastra Pembebasan, Medi Lukito dari Milis Penyair, Anya Rompas dari Komunitas Bunga Matahari dan Dino F Umahuk dari Fordisastra. Di pandu Randu Rini yang mengaku sebagai member sejuta milis!
Terlepas dari diskusi itu tapi masih berkaitan dengan topik, ada beberapa hal yang menjadi bahan perenunganku. Mengapa memilih internet sebagai wadah berekspresi sastra. Ada pertanyan yang agak menggelitik dari moderator ”Apakah karena takut dengan media cetak?” Menurutku ini membandingkan apel dengan jambu. Jika ingin membandingkan sesuatu bandingkanlah dengan jenis yang sama. Apel Washington dengan Apel New Zealand misalnya.
Lahirnya komunitas puisi maya bukan karena takut pada media cetak. Seperti yang disampaikan Anya Rompas, si Tukang Kebun Kata dari Komunitas Puisi Bunga Matahari. Lahirnya komunitas ini karena keinginan beberapa orang yang mencintai puisi. Di beri nama Bunga Matahari karena memang meyakini puisi yang lahir atau karya yang diciptakan tidak harus berat. Puisi yng ringan dan agak nyeleneh pun bisa muncul di milis ini.
Si Tukang Kebun Kata, istilah moderator untuk Komunitas BuMa tidak melakukan moderasi atau filtering karena tujuanya memang ingin menjangkau sebanya-banyaknya orang yang suka menikmati puisi baik menulisknnya, membacakannya atau sekedar menikmatinya. Jadi tidak relevan pertanyaannya kalau disimpulkan ”memilih internet sebagai wadah ekpresi bersastra lantartan takut terhadap sastra media cetak”.
Dino F Umahuk moderator Fordisastrapun mendukung pendapat Anya Rompas, Lahirnya Fordisastra bukan karena takut dengan sastra media cetak tapi lebih karena keinginan menghasikan karya yang tidak KKN. Menurut Dino. Banyak redaktur sastra yang tidak lagi konsisten melakukan filtering dalam memilih karya. Hal ini disebabkan banyak redaktur yang bersahabat dengan para penulis/penyair. Yang ada diantaranya menggantungkan isi perut pada karya. Artinya jika karyanya tidak di muat maka ada kemungkinan keluarga tidak makan.
Masih menurut Dino, sehingga ketika si penyair mengirimkan naskah tersebut lalu menghubungi si redaktur yang meinginformasikan telah mengirim nasakah, membuat si redaktur bimbang antara mempertahankan kualitas atau pertemanan. Bukan hanya pada media cetak, menurut Dino pada situs-situs tertentu ada juga postingan yang mengandalkan kedekatan si penyair dengan moderator sehingga kualitas karya menjadi nomor 2.
Hal tersebutlah yang menjadi salah satu alasan Dino dan 2 kawannya mendirikan situs Fordisastra. Sesuai dengan tujuannya yang ingin menghasilkan tulisan berkualitas maka moderator melakukan filtering/moderasi. Kriterianya hanya moderator yang tahu.
Pendapat Dino dibantah Medi Lukito. Selaku moderator milis penyair dan namanya sudah banyak di kenal jika mempostingkan sebuah karya ke Situs Cyber sastra, belum tentu dimuat. Medi lukito yang tak terlalu banyak bercakap juga menekankan lahirnya Milis Penyair bukan karena takut pada sastra media cetak. Dan saya pribadipun demikian. Saya percaya para penyair Sastra Pembebasan bukan takut pada media cetak, seperti yang diungkapkan Sobron Aidit.
Sebagai orang yang dipinggirkan karena stigma PKI, Nama belakangnya sudah menunjukan siapa beliau dan hubungannya dengan ketua PKI DN Aidit. Sehingga karena iklim politik, tak ada media yang berkenan membuat karyanya. Padahal jauh sebelum ada peristiwa G 30 S 1965, karya beliau banyak di muat media cetak bahkan sudah dibukukan.
Tak banyak orang yang tahu siapa Sobron Aidit. Tapi kawan-kawan sastrawan seangkatan beliau dikenal karena dipelajari di sekolah seperti WS Rendra dan Ayip Rosidi. Sehingga kehadiran internet bagi orang-orang seperti Sobron Aidit bagaikan sorga!
Beberapa hal yang menurutku perlu diperhatikan dalam mendiskusi kehadiran internet sebagai wadah/media bersastra adalah bentuk dari media itu sendiri.
Perbedaannya
Media Cetak
Memerlukan modal awal yang besar
Di kelola dengan sebuah manejemen yang rumit
Profit oriented
Memiliki karyawan yang banyak
Mempunyai tujuan utama bisnis
Keterbatasan halaman
Komunitas Cyber Sastra:
Tidak memerlukan modal besar
Di kelola dengan manjemen sederhana
Tidak profit oriented
Tidak memiliki karyawan
Tujuan utama membangun jaringan pada peminat yang sama
Halamannya tidak terbatas
Persamaannya:
Sama-sama bisa memfasilitasi karya berkualitas
Sama-sama bisa meciptakan pujangga
Dari perbedaan yang aku jabarkan, nampak jelas keterbatasan media cetak dalam menfasilitasi karya sastra. Untuk karya sastra media cetak hanya memuat 1 x seminggu itu pun maksimal hanya dua halaman. Proses seleksi itu sendiri menjadi tidak mudah selain seperti yang dikhawatirkn Dino, bahwa ada hubungan antara redaktur sastra dan penyair memungkinkan tertutupnya kesempatan penyair lain.
Harus diingat pula, media cetak adalah barang dagangan, produk suatu bisnis yng profit oriented artinya proses seleksi itu harus di jaga karena berkaitan dengan kualitas dari media itu secara keseluruhan.
Dalam Majalah Matabaca (Maaf saya lupa edisinya) Remy Silado yang dulu pernah menduduki posisi redaktur sastra mengatakan ”Dalam menyeleksi cerpen yang begitu banyak, jujur langkah awal yang dilakuan adalah melihat nama pengarangnya. Langkah kedua sekaligus dengan niat memberi kesempatan pada pengarang lain adalah membaca dua aline pertama dari naskah yang ada. Jika dua alinea pertama menarik, maka ada kemungkinana di baca sampai tamat, sehingga peluang diseleksi lebih besar lagi. Tapi kalau dua alinea pertama sudah payah, jangan berharap dibaca!”
Artinya, kedekatan redatur dengan penyair memang bisa membantu menebus media cetak tapi seleksi itupun disebabkan keterbatasan halaman. Selain keterbatasan halaman, media cetak juga mengutamakan aktualitas sehingga waktu menyeleksipun terbatas.Halaman dan waktu yang terbatas, membuat tidak memungkinkan memfasilitasi karya yang sangat banyak.
Maka kehadiran Cyber Sastra adalah alternatif lain yang seharusnya menurutku mampu menutupi kekurangan pada media cetak. Bicara kualitas suatu karya, sebenarnya sangat relative. Siapa yang bisa menentukan kualitas sebuah karya puisi? Memang ada kaidah-kaidah penulisan tapi puisi lebih menyangkut rasa.
Seperti yang diungkapkan Dino, Selama manusia masih memiliki rasa sedih, susah, senang, gembira dan lain-lain maka puisi akan lahir terus. Jadi mengapa harus dibatasi dengan moderasi/filtering dari para pengelola milis/situs tersebut? Aku tidak berhak menjawab namun satu hal menurutku kualitas sebuah karya sastra akan dibuktikan oleh seleksi alam. Proses pujian dan kritikan dalam diskusi pada sebuah milis yang mengomentari sebuah karya sebetulnya sudah menjadi ajang pembelajaran.
Komunitas dalam dunia maya, sudah terseleksi berdasarkan minat. Artinya yang bergabung dan akhirnya membentuk jaringan adalah individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam minat. Sehingga mereka yang bersatu dalam sebuah komunitas jika berdiskusi sudah pada topik besaran yang sama, jumlah ini walau bisa menjadi besar bahkan melebihi besarnya oplah media cetak namun tidak mempunyai satu ikatan.
Artinya si individu mau bergabung atau melepaskan diri dari komunitas tidak berdampak apa-apa pada komunitas. lain halnya jika pembaca sebuah media berpaling, tentu akan mempengaruhi oplah dan ujung-ujungnya omzet media tersebut. Jadi jelas dan pantaslah bila redaktur media cetak khususnya redaktur sastra harus melakukan proses seleksi untu menentuan karya yang layak di muat.
Penulis yang serius, akan menanganggapi atau mensikapi pujian dan kritikan dengan serius tapi yang main-main akan menghadapi kebosanan dan alam yang akan membuktikan, layakkah ia menjadi pujangga? Seorang pujangga tidak pernah mau tahu, karyanya dinikmati atau tidak satu hal yang pasti yang dilakukan para pujangga itu adalah dengan menghasikan karya terus menerus sampai ajal menjemput. Yang melabelkan orang tersebut pujangga atau bukan pujangga adalah para penikmat karyanya.
Dan hal utama lainnya yang tidak lepas dari sebuah karya puisi adalah pembacaan puisi itu sendiri. Puisi tersebut bisa hidup dan menimbulkan rasa yang berbeda ketika dibacakan atau di suarakan.
Sebuah Komunitas Cyber Sastra seharusnya tidak hanya melahirkan penyair atau pujangga tapi juga akan menghasilkan kritikus/pemerhati sastra. Sebagian orang dikaruniakan talenta untuk menulis tapi tidak sedikit orang yang juga dikaruniakan talenta untuk menilai.
Sehingga pada ahirnya internet sebagai wadah mengekspresikan sastra benar-benar bisa menjadi wadah yang melahirkan penyair dan karya tulisan yang berkualitas. Serta tetap mempunyai tujuan mengolah rasa dan jiwa untuk menuju kedamaian dan kesempurnaan batin. (Elisa Koraag)
Saudari Elisa yang terhormat,
ReplyDeletePak Sobron Aidt telah meninggalkan kita. Saya usulkan tulisan ini Anda muat di KabarIndonesia agar bisa dibaca lebih banyak orang.
Biarlah orang-orang yang meremehkan Penulis Maya tahu bahwa Dunia Maya hanyalah salah satu tempat untuk berekspresi dan berkarya.
Seperti pak Sobron di:
http://www.lallement.com/sobron/
Terimakasih banyak.